This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 31 Agustus 2016

Sejarah dan Perkembangan NLP



Sejarah NLP bermula ketika seorang profesor Linguistik sekaligus pakar psikologi bernama Dr. John Grinder bertemu dengan ahli matematika sekaligus ilmu komputer, Dr. Richard Bandler. Keduanya bertemu di University of Calipfornia Santa Cruz pada tahun 1970-an. Grinder dan Bandler terteraik menemukan rahasia yang dimiliki orang-orang efektif, seperti apa yang membuat mereka mampu mencapai hal-hal tertentu. Terutama, keduanya tertarik pada kemungkinan untuk dapat memodel atau "menduplikasi" prilaku yang dilakukan oleh orang-orang efektif tersebut.

Pertemuan seorang linguis dengan Matematikawan

Grinder sempat berkarie di militer Amerika Serikat. Keahliannya di bidang linguistik membawanya pada posisi sebagai intelejen AS. Di tahun 1960, Grinder memutuskan kembali ke universitasnya untuk memperdalam keahliannya di bidan linguistik meraih gelar Ph.D.

Ahli bahasa yang juga punya latar belakang psikologi ini banyak mempelajari ilmu kebahasaan seperti syntax dengan menggunakan dasar teori dari Noam Chomsky tentang Transformational Grammar, yakni sebuah ilmu yang berusaha untuk memahami bagaimana proses pengkodean dan pemberian makna dalam pikiran kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk bahasa. Proses ini dinamakan deep structure sedangkan hasilnya dalam bahasa disebut surface structure.

Grinder pun menjadi seorang pakar linguistik yang telah bertahu-tahun melakukan penelitian dan pengembangan terhadap transformational grammar. Ia juga terpilih menjadi asisten profesor linguistik di kampusnya. Disinilah Grinder bertemu dengan Bandler. Bersama dengan Bandler, keduanya menemukan bahwa masalah yang timbul dalam pikiran-perasaan seseorang sejatinya hanyalah proses transformasi yang tidak sempurna dari deep structure menjadi surface structure.

Keduanya tertarik mempelajari keahlian sejumlah pakar dan terapis yang teramat sukses dibidangnya, yaitu Fritz Perl dan Virginia Satir. Kedua terapis ini merupakan pakar yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk mengungkap deep structure kliennya sehingga bisa dengan mudah memahami permasalahan yang sebenarnya dialami kliennya. Bandler dan Grinder kemudian memodel kedua terapis tersebut untuk mempelajari keahlian mereka dalam memahami permasalahan kliennya.

Metode yang dipergunakan untuk mempelajari keahlian tersebut disebut Modeling alias  "mencontek". Tokoh pertama yang "dimodel" adalah Fritz Perls, seorang psikoterapis beraliran Gestalt. Perls terkenal dengan keahliannya membantu menyelesaikan masalah klien dalam waktu singkat. Bandler juga banyak menimba ilmu psikologi kepada Perls. Ia bahkan juga mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan oleh Perls.

Bandler memang berhasil mempelajari teknik-teknik ala Perls. namun, ia masuk menemukan kesulitan dalam hal menerjemahkan teknik tersebut ke dalam pola yang terstruktur dan mudah diajarkan pada banyak orang. 
Kesulitan yang dimiliki Bandler berhasil diatasi ketika ia bertemu dengan Grinder di satu kelas. Grinder yang ahli dalam mengenali pola kemudian diajak oleh Bandler untuk bekerjasama untuk menetuki keingintahuannya akan teknik modeling ini.

Mengembangkan Seperangkat Teknik Mental


Grinder dan Bandler kemudian melanjutkan observasinya pada Virginia Satir, seorang pakar terapi keluarga. Tak tanggung-tanggung, keduanya mendapatkan rekaman tentang apa yang dilakukan Satir ketika menangani kliennya. Bandler dan Grinder mempelajari rekaman tersebut dan berhasil menterjemahkan apa yang dilakukan oelh satir dengan menggunakan terminologi yang dikembangkan oleh keduanya. Dari apa yang mereka lakukan terhadap observasinya pada Satir, keduanya berhasil menyusun sebuah buku berjudul  Changing With Families.

Dari observasi tersebut, Bandler dan Grinder berhasil mengidentifikasi cara satir dalam melakukan Klarifikasi atas masalah yang dihadapi kliennya. Observasi ini menjadi titik awal dari Meta Model, salah satu pokok bahasan yang dipelajari dalam NLP sampai saat ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Yuliawan dalam bukunya, Meta model merupakan " sebuah teknik komunikasi yang menghendaki presisi sehingga membuat kita mampu memahami struktur yang berada di balik apa yang diucapkan oleh orang lain (content).


Selain itu, Bandler dan Grinder juga memperhatikan bahwa Satir berbicara dengan bahasa visual kepada kliennya yang bertipe visual, bahasa auditory untuk kliennya yang bertipe auditory dan bahasa kinesthetic untuk kliennya yang bertipe kinesthetic. Namun Satir sendiri tidak menyadari tentang pola komunikasi dengan klien nya tersebut.

Dari sini, Bandler dan Grinder kemudian semakin memusatkan perhatiannya pada aspek komunikasi dengan mempelajari kesempurnaan keterampilan berkomunikasi. Kesempurnaan ini ditampilkan oleh beberapa pakar yang terbukti mampu menyembuhkan klien yang tergolong "mustahil sembuh". Dengan pemodelan prilaku mereka , Bandler dan Grinder mampu melihat pola berpikir yang membantu dalam keberhasilan subjek. Keduanya berteori bahwa otak dapat mempelajari pola prilaku sehat dan hal ini akan membawa dampak fisik dan emosional positif. Hasil dari obeservasi-observasi ini di tulis dalam buku "The Structure of Magic, Vol. 1 (1975) dan The Structure of Magic Vol. 2 (1976). Buku-buku ini pada awalnya adalah untuk master thesis Bandler. Kedua buku inilah yang menjadi buku NLP pertama yang dipublikasikan.


Meta Model telah berhasil dirumuskan. Dalam upaya mengembangkan keingintahuan kedua nya tentang dunia modeling, Bandler dan Grinder banyak berguru pada seorang antropolog bernama Gregory Bateson. Dari gurunya inilah, keduanya mendapat saran untuk memodel Milton H. Erickson seorang psikiater dan hipnoterapis hebat yang tinggal di phoenix, Arizona, USA yang juga merupakan pimpinan American Society For Cinical Hypnosis.

Dari Sini, Bandler dan Grinder menemukan teknik NLP lainnya yang diberi nama Milton Model. Hasil dari Modeling yang dilakukan pada Erickson membuat keduanya menjadi Master of Hypnosis.  Keduanya kemudian juga menulis dan mempublikasikan buku atas hasil modelling ini dengan judul Pattern of the Hypnotic Techniques of Milton H erickson. MD, yang diterbitkan pada Tahun 1975 dan Volume keduanya diterbitkan 1977 bersama Judith Delozier.


Pattern of the Hypnotic Techniques of Milton H erickson. MD, Menjadi salah satu kontribusi utama dalam dunia Hipnosis. Untuk buku ini Erickson menulis, "Pattern of the Hypnotic Techniques of Milton H erickson. MD yang ditulis oleh Richard Bandler dan John Grinder adalah suatu penyederhanaan yang luar biasa atas sejumlah kompleksitas bahasa yang saya gunakan pada pasien. Sewaktu membaca buku ini, saya mempelajari sejumlah hal yang telah saya lakukan tanpa tahu tentang hal yang saya lakukan tersebut".

Setelah bertahun-tahun memodel, keduanya kemudian berhasil mengembangkan seperangkat teknik mental yang sangat berguna dalam dunia terapi. Penelitiann yang dilakukan secara intensif dan sistematis tersebut menggiring Bandler dan Grinder menemukan jawaban: Dalam meraih keberhasilannya, orang-orang sukses memiliki prilaku yang nyaris sama dalam hal strategi-strateginya. Kesemua strategi itu dapat ditiru atau dimodel oleh orang lain yang ingin juga sukes.

Berkat pengetahuan, temuan, dan dedikasinya yang luar tersebut , Grinder dan Bandler juga pernah mengerjakan sejumlah pekerjaan rahasia untuk CIA. Dengan menggunakan kekuatan unconcious, keduanya melatih anggota CIA yang rawan tertangkap agar terlatih sebagai spesialis CIA di Timur Tengah, di mana ia menggunakan keahliannya di bidan linguistik untuk mengumpulkan informasi rahasia dan Intelijen sensitif dari kalangan komunitas berbahasa Arab.


NLP Kekinian

Seiring berjalannya waktu, NLP sangat berkembang seiring dengan bergabungnya beberapa pakar seperti Leslie-Cameron Bandler, Judith Delozier, Robert Dilts, dan David Gordon dan beberapa tokoh lainya. Beberapa tokoh inilah yang membuat NLP menjadi semakin canggih dengan menggunakan "modeling"nya untuk mengeksplorasi ekselensi dari banyak orang. Para tokoh ini juga yang memperkaya teknik serta konsep NLP sehingga menjadi sebuah ilmu pengerahuan.

pada tahun 1980, Bandler dan Grinder memang berpisah haluan karena terlibat masalah hukum terkait kekayaan intelektual. Namun demikian, dengan jalan masing-masing keduanya tetap mengembangkan NLP. Grinder bersama Delozier menyusun pendekatan baru yang diberi Nama New Code NLP.  Sebagaimana ditulis oleh Yuliawan (2010), pendekatan ini menitikberatkan pada Pola Pikir sistemik antara tubuh dan pikiran.

Tak mau ketinggalan, Bandler juga menyusul dengan pemodelan terbaru mengenai submodalitas  dan Ericksonian hipnosis melalui bukunya Using Your Brain: For A Change di tahun 1984. Selain itu bandler juga berhasil mengembangkan NLP dengan mencetuskan Design Human Enginering (DHE)  .  Ilmu ini masih tergolong langka di dunia, karena penyebarannya masih relatif ditujukan untuk kalangan tertentu saja. Teknik-teknik yang ada di DHE sebenarnya tak jauh berbeda dengan teknik-teknik yang ada di NLP lainya. Hanya saja DHE punya keunikan yaitu mempunyai cara pandangnya yang sistemik dan generatif sehingga keluar dari batas-batas modeling standar.

Beberapa praktisi dan trainer lainpun tak ketinggalan memodifikasi, memberi nama dan mengembangkan variasi NLP, Michael Hall menawarkan NLP yang berfokus dengan apa yang disebutnya sebagai metas states  (melangkah ke masa lalu secara mental dan melihat diri sendiri melalui perspektif yang lebih luas). Sementara itu Ted James mengembangkan teknik Time Line theraphy yang meminta kliennya untuk melakukan visualisasi dan menciptakan suatu time line dari hidup mereka dengan tujuan memperbaiki time line tersebut. Belakangan Anthony Robbins bahkan membuat pengembangan NLP dengan melahirkan NAC, Neuro Associations Conditioning. Robins jugalah yang mempopulerkan NLP sehingga meluar di USA dan seluruh Dunia.



Ilmu modeling ini dikembangkan untuk memodel berbagai keunggulan manusia, antara lain untuk memodel keunggulan orang berprestasi unggul di bidan olahraga, kepemimpinan, pemasaran, pendidikan, bisnis, hiburan, meditasi, dan bebagai bidang lainnya. Sejauh ini, beberapa tokoh besar juga tercatat sukses lantaran menggunakan NLP. Beberapa diantara tokoh tersebut adalah Bill Clinton, Andre Agassi, Lady Di, Nelson Mandela, dan masih banyak tokoh lainnya.


Perkembangan NLP juga bisa dilihat dari banyaknya buku yang mendedah tentang NLP. Seiring dengan itu muncul pula jutaan praktisi NLP di seluruh Dunia. Perkembangan ini dimungkinkan karena sejak inisiasinya NLP memiliki arah yang jelas. Pertama, sebagai proses untuk mengugkap pola dan strategi mental para jenius dibidangnya masing-masing. Jika seseorang dapat mengungkap strategi mental jenis lainnya, terutama yang melibatkan pikiran bawah sadarnya atau unconscius mind, maka kita dapat meniru atau memodel dan melakukannya dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik.

Sebagai contohnya, jika kita bertanya kepada seorang pemain piano yang sangat piawai bagaimana ia melakukan permainan yang demikian mengagumkan, dalam banyak kasus orang tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Namun kita dapat melakukan pengamatan atau obsercasi ketika ia sedang bermain untuk mempelajari strategi mental dan apa yang berlangsung dalan unconscious mind nya ketika ia sedang memainkan suatu simfoni yang indah. Dengan demikian, kita akan dapat mengungkap banyak informasi yang tidak mungkin diberikannya secara conscious. Kedua untuk membangun keterampilan berkomunikasi, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Itulah yang membuat NLP tetap diminati hingga saat ini.

Kini NLP tidak hanyak dipakai untuk keperluan terapis, melainkan meluas pada berbagai disiplin di berbagai negara dunia. Aplikasinya beragam mulai dari menghentikan kebiasaaan buruk hingga menguasai gerakan senam, mulai dari rekrutmen pramugari, sampai pelatihan sniper. Dalam perkembangannya, para pelopor NLP mulai mengibarkan sayapnya dengan merambah dunia diluar terapi, namun juga segmen lainnya seperti bisnis, manajemen, keluarga, pendidikan dan olah raga.










Share:

Kamis, 18 Agustus 2016

NLP dan Teknik Psikologi Lainnya


Hingga saat ini, masih ada banyak orang yang mempertanyakan perbedaan antara NLP dengan teknik-teknik psikologi lainnya. Yuliawan dalam bukunya Neuro-Linguistic Programming : The Art of Enjoying Life (2010 : 11) berpendapat bahwa NLP merupakan seni dari ilmu psikologi. Namun demikian Yuliawan menjabarkan bahwa setidaknya terdapat lima hal yang membuat NLP istimewa dan berbda dengan teknik-teknik psikologi lainnya.

Lima perbedaan Yang Dimaksud adalah :


Menyadari bahwa setiap orang mempunyai bekal sumber daya yang dibutuhkan untuk menjadi pribadi yang efektif, NLP pun hanya akan memodel orang-orang yang berkualitas. Proses modeling inilah yang menjadikan NLP mempunyai konsep terbaik sekaligus aplikatif.  " sesuatu yang indah namun tidak praktis akan dibuang, begitu pun ia yang praktis namun tidak berdasar akan di singkirkan jauh-jauh."  tulis yuliawan.

NLP juga menerapkan hukum keefektifan bukanlah harga mati. Sebab sebagaimana yang diasumsikan oleh NLP, hingga saat ini masih ada banyak orang yang tidak mampu menjalani kehidupan efektif hanya karena mereka tidak tahu strategi menjalankannya, bukan karena tidak punya sumber daya yang dibutuhkan. Dengan menerapkan strategi yang tepat, secara otomatis orang pun akan menjalani kehidupan dengan efektif. Sebagaimana dikatakan yuliawan,  " ajari mereka strategi yang benar dan mereka akan menjadi efektif pula". 



Kita tahu bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Hanya saja, kita masih sering menggunakan sudut pandang yang keliru dalam memandang masalah yang sedang kita hadapi. Nah bagaimana cara kita memandang satu masalah akan mempengaruhi bagaimana solusi yang akan kita terapkan. Tak jarang, bukannya menyelesaikan masalah, solusi yang kita ambil justri membuat masalah menjadi semakin parah dari hari ke hari.

Dalam situasi seperti inilah NLP akan memerankan peranannya. NLP mengajak kita utuk melihat masalah dari sudut pandang yang tepat, sudut pandang yang lebih tinggi sehingga memudahkan kita dalam menemukan dan merumuskan pemecahan masalah. Sebab ternyata ada banyak hal yang kita anggap sebagai masalah, padahal sebenarnya hanya merupakan gejala dari timbulnya masalah.  " Betapa banyak hal yang kita anggap sebagai masalah sebenarnya hanyalah simtom dari permasalahan yang sebenarnya," Ujar Yuliawan.

3. NLP Mempunyai Cara yang Lebih Sistematis untuk Memambantu Kita berubah.

NLP tidak hanya berkutat dalam ranah perilaku manusia. Melalui proses modelling, NLP juga merambah ranah kemampuan, keyakinan, nilai-bilai, identitas dan tujuan yang lebih tinggi kemudian menjabarkannya dalam langkah-langkah yang terstruktur. hal ini akan mempermudah para praktisi dalam melakukan teknik modeling.

4. NLP Dikenal Sebagai sebuah Pendekatan yang Menawarkan Hasil Akhir dengan relatif Cepat.

Salah satu keistimewaan yang dimiliki NLP adalah melalui teknik-tekniknya, NLP mampu menyelesaikan berbagai problematika yang dialami si klien dalam waktu yang relatif singkat. " Teknik seperti fast fobia cure (fast Fobia cure) misalnya mampu membuat mereka yang telah lama berkecimpung dalam dunia terapi berdecak agum karena sanggup membantu penyembuhan seorang yang mengalami Fobia menahun hanya dalam hitungan menit saja."


5. Pada Proses Intervensinya, NLP berfokus pada Struktur dari Pengalaman dan Bukan pada Isinya (content)


NLP berbeda dengan teknik psikologi lainnya yang berusaha menggali pengalaman dan memunculkannya secara sadar, karena dalam menangani kliennya NLP justru menyentuh struktur yang membentuk pengalaman si klien. Daripada meminta Klien menceritakan kembali pengalaman traumatik yang dialaminya, NLP memilih untuk mengajak kliennya mencermati bagaimana persisnya pengalaman itu digambarkan dalam pikiran dan perasaan si klien.


Itulah lima hal yang membedakan NLP dengan teknik-teknik psikologi lainnya yang sudah berkembang bahkan jauh sebelum NLP muncul hingga saat ini. Karena kelima keistemewaannya inilah NLP mampu menyita perhatian banyak kalangan, termasuk dunia psikologi. Kehadirannya bahkan diakui telah banyak membantu perkembangan dunia psikologi. Banyak teknik-teknik dalam NLP yang diaplikasikan untuk membantu penyembuhan klien "sakit" dengan mudah dan cepat, yang jika disembuhkan dengan teknik psikologi lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama.



sumber :


Share:

Senin, 15 Agustus 2016

FROGS INTO PRINCES, Richard Bandler

Dalam dunia NLP mendengar buku FROGS INTO PRINCES, Richard Bandler mungkin sudah tidak asing lagi.
Namun masih banyak dari kita yang belum memiliki buku maha karya Richard Bandler ini.
Buat rekan-rekan yang ingin memiliki

silahkan download
cara cepat hamil



























Sandier, Richard.
Frogs into princes.
"Edited entirely from audiotapes of introductory
NLP training workshops conducted by Richard Bandler
and John Grinder."
Bibliography: p.
1. Psychotherapy. 2. Nonverbal communication.
3. Psycholinguistics. 4. Imagery (Psychology)
I. Grinder, John, joint author. II. Title
Share:

Mengenali Neuro Linguistic Programming (NLP)



Ada banyak defenisi mengenai Neuro linguistic Programming  atau yang disingkat atau yang disingkat dengan NLP. Beberapa ahli pun telah memaknai NLP dengan bermacam arti, merujuk pada latar belakang, cara kerja, hingga peranannya. John Grinder, misalnya, salah satu penggagas NLP mengartikan NLP sebagai sebuah strategi belajar. Bukan sekedar strategi belajar biasa, Grinder memaknainya sebagai strategi belajar yang dipercepat (accelerate learning strategy). Strategi ini digunakan untuk "mendeteksi dan memanfaatkan pola-pola yang ada didunia" ujurnya.

Rekan seperguruan Grinder yang juga menjadi pelopor NLP, Ricard Bandler, memaknai NLP sebagai sebuah sikap mental dan metologi. Hampir mirip dengan yang diungkapkan Grinder, menurut Bandler metodologi dalam NLP berfungsi untuk menjalankan segala teknik yang cepat dan tepat guna atau sering dibahasakan dengan kata "efektif". Tuturnya "NLP adalah sebuat sikap mental dan metodologi yang ada di balik segenap teknik yang efektif".

Lain dua tokoh tersebut, lain pula dengan robert Dilts. Terapis yang sangat produktif menghasilkan karya modeling NLP ini berani memaknai NLP dengan lebih sederhana, namun tetap mengena. Menurutnya, "NLP adalah apapun yang bisa menghadirkan kesuksesan". Defenisi yang terakhir ini tentu membuat NLP nampak begitu menggiurkan dan menjanjikan, yang sedikit banyak mampu memantik orang untuk menilik sekali lagi apa itu NLP.

" Benarkah apa yang dijanjikan Dilts? Bagaimana bisa NLP mampu membawa hadiah berharga berupa kesuksesan?. Jika memang benar, apa sich sebenarnya NLP itu ?. " Mungkin tiga pertanyaan itulah yang sekilas akan muncul dalam benak banyak orang ketika pertama kali mendengar pernyataan Dilts. Tentu saja, Kita juga berharap bahwa kesuksesan yang dimaksud Dilts tidaklah terbatas pada sukses karier, melainkan sukses dalam arti luas melingkupi sukses dalam ranah keluarga, sosial, juga karier. Sebab, kita mengakui bahwa setiap manusia juga memimpikan sebuah kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Setiap manusia juga memimpikan sebuah bangunan keluarga damai, hubungan sosial yang harmonis serta perjalanan karier yang gemilang.

Apakah harapan yang diberikan Dilts benar-benar bisa diwujudkan?

Berorientasi pada PERUBAHAN.

Teddy prasetya yliawan, pendiri Indonesia NLP Society dalam bukunya Neuro Linguistic Programming. The Art of Enjoying Lifw (2010) menjelaskan bahwa NLP berkutat pada perubahan. Menurutnya, jika dirunut dari akar bahasanya - Neuro Linguistic Programming - Perubahan tersebut dapat kita lakukan dengan cara melakukan "intervensi" atau "programming" terhadap program yang sudah ada di dalam pikiran kita (neuron) dengan menggunakan media bahasa (linguistic).

Yuliawan sengaja menggunakan kata "intervensi" dengan alasan bahwa NLP berasumsi setiap manusia sebenarnya telah memiliki program dalam diri masing-masing. Program itu bisa didapatkan dari keturunan (faktor genetik) ataupun proses belajar selama hidup. Nah, " aktivitas NLP dalam hal ini adalah menyesuaikan atau mengubah program tersebut sehingga menjadikan sang empunya lebih efektif sebagai individu ", tulis Yuliawan.

Sejalan dengan Yuliawan, Totok PDy, Co-Founder dari Neo NLP Society yang juga seorang master trainer di pelatihan tersebut dalam bukunya berjudul Buku Saku NLP: Neuro Linguistic Programming  (2013: 39) sepakat bahwa inti dari NLP adalah perubahan. Hanya sajaPDy menegaskan bahwa bukannya hadir untuk mengubah kehidupan kita, NLP hanya berperan sebagai tameng kita dalam menghadapi bermacam perubahan yang ada dan pasti dialami manusia.

Sebab meskipun kita sudah tahu bahwa perubahan merupakan sebuah kepastian, kita masih saja sering gagap menghadapinya. Inilah mengapa, menurut PDy, kita harus membekali diri dengan tameng supaya tidak gagap menghadapi segala perubahan kondiri yang tidak kita inginkan. "Menariknya adalah meski fenomena perubahan kehidupan ini sudah cukup sering mewarnai kehidupan kita, namun kita seringkali dibuat puyeng jika dihadapkan oleh perubahan perilaku seperti yang kita inginkan," tulis PDy.

Namun demikian, perlu diingat bahwa NLP hanya bisa membantu kita menciptakan perubahan efektif jika kita meyakini betul bahwa sebenarnya diri kita sendiri yang berperan sebagai pengontrol segala kondisi yang kita miliki. Perubahan tidak diciptakan oleh seorang terapis atau praktisi, melainkan oleh kita atau klien sendiri. Dengan kata lain, setiap perubahan yang terjadi merupakan buah dari usaha kita sendiri. Dengan kata lain setiap perubahan yang terjadi merupakann buah dari usaha si klien.

Tanpa keyakinan tersebut, perubahan sekecil apapun mustahil dapat diciptakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Wiwoho, pendiri IndoNLP dalam Understanding NLP dan NLP in Action, ia menggaris bawahi bahwa "sebenarnya tugas seorang praktisi NLP adalah menemukan apa yang menyebabkan seseorang terbelenggu dalam batasan-batasannya sendiri dan membantu membuka belenggunya, mungkin satu persatu atau adakalanya sekaligus, dengan partisipasi aktif dan kreatif dari orang tersebut".

Erickson (dalam wiwoho, 2008) juga meyakini pernyataan serupa. Segala perubahan yang dicapai si klien tak lain merupakan buah dari usaha si klien itu sendiri. " Erickson juga memiliki keyakinan bahwa bila kliennya dapat melakukan perubahan, kredit poinnya seharusnya diberikan kepada kliennya. Peran terapis hanya membantu mengarahkan pada kondisi yang tepat, dan dari situ klien dapat mempelajari sesuatu, dan melakukan perubahan. Setiap perubahan yang terjadi adalah upaya si klien sendiri.

Dalam praktiknya, terapis NLP akan menganalisa setiap kata dan frase yang kita gunakan dalam menjelaskan gejala-gejala kita atau kekhwatiran tentang kondisi yang kita alami. Terapis akan memeriksa ekspresi wajah dan gerakan tubuh kliennya. Setelah menentukan masalah dalam persepsi klien, terapis akan membantu kliennya memahami akar pernyabab masalah dan membantu kliennya merombak pikiran dan asosiasi mental untuk memperbaiki praduga kliennya. Praduga ini juga bisa menjaga kliennya mencapai keberhasilan yang selayaknya.

Dalam upaya mencapai perubahan yang diinginkan, pikiran menjadi fokus utama dalam kajian NLP. Mengapa demikian?. Sebab NLP mempunyai asumsi bahwa proses fisiologis dan emosi merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dan, pikiranlah yang menjadi pusat sistem kerja tubuh dan perasaan tersebut. Sebagaimana ditulis lebih lanjut oleh yuliawan,  " Kita memang bisa mengubah kondisi emosi dengan melakukan gerakan tubuh (fisiologis) sesuai keinginan kita, namun jika pikiran belum mau tunduk, maka hampir pasti perubahan tersebut tidak akan bertahan lama".

Sementara itu, untuk mencapai perubahan yang diinginkan, bahasalah yang menjadi media paling dominan. Dalam NLP, bahasa atau kata-kata mempunyai makna istimewa dalam upaya mencapai perubahan kondisi seseorang. Alasannya, ada hubungan istimewa, hubungan yang amat erat antara saraf dengan bahasa atau kata-kata. Setiap kata yang diserap otak akan memunculkan respon pada saraf. Kecuali kata tersebut merupakan kata baru atau asing bagi sipendengar.

Karena hubungan yang tak terpisahkan ini pula, menurut yuliawan, menjadi salah satu alasan mengapa Neuro Linguistik tidak di tulis secara terpisah. Neuro-Linguistic disambungkan dengan tanda hubung (-) yang juga mencerminkan keeratan hubungan keduanya yang tak terpisahkan.


Dirunut dari pembentukan katanya, NLP terdiri dari tiga kata yaitu, Neuro , Linguistik , dan Programming. Pengambilan ketiga istilah ini tidak diambil secara asal, melainkan mencerminkan atau merangkul ketiga elemen yang terlibat dalam membentuk perubahan efektif yang diinginkan oleh setiap individu. NLP mendasarkan teknik-tekniknya pada fakta bahwa saraf memegang peran sentral bagi seorang dalam menyerap pengalaman. Saraf dan berikutnya otak memaknai pengalaman yang kita serap dan menggerakkan tubuh sesuai makna atas pengalaman itu. Dengan kata lain, otak dan saraflah yang sesungguhnya mengalami sesuatu. Itulah yang mendasari pemilihan kata Neuro.

Dengan Linguistic, NLP menunjukkan bahwa neuro atau saraf dapat dipengaruhi oleh bahasa atau kata-kata dalam menafsirkan suatu pengalaman. Kata tertentu dapat mempengaruhi otak agar memberi makna tertentu terhadap suatu pengalaman. Sebaliknya, otak akan memberikan makna yang berbeda atas pengalaman yang sama jika di rangsang dengan kata yang berbeda pula.

Adapun pemilihan kata programming bermula dari keyakinan bahwa dalam diri manusia, kita telah mempunyai banyak simpanan program. Bentuk dari program-program ini mewujud berupa perilaku, kemampuan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain. Layaknya program-program yang ada dalam komputer, program-program yang ada dalam diri kita pun bisa di-install, unistall, recode, dan bahkan reinstall. Misalnya saja, ketika kita memiliki informasi yang sudah usang, kita bisa langsung meng-update pikiran kita dengan informasi yang baru. Kita bisa langsung menginstal ulang kemampuan kita dengan kemampuan baru yang kita inginkan dan kita butuhkan.

Dengan programming, NLP memberi kesempatan kepada kita untuk mengambil kendali atas cara kerja otak dan saraf dalam menafsirkan pengalaman melalui pengaturan rangsang bahasa atau kata-kata. Itulah mengapa, programming menjadikan kita sebagai tuan atas diri kita sendiri. Kita tahu apa yang kita butuhkan dan kita inginkan, kemudian dengan sendiri kita akan memenuhi kebutuhan tersebut. Kita pun bisa mengubah berbagai perilaku, kemampuan, keyakinan, nilai-nilai dan lainnya sesuai dengan yang kita butuhkan. Itulah yang menjadi salah satu yang menjadi ajaran utama dari NLP. " Dengan kata lain, berbagai perilaku, kemampuan, keyakinan, nilai-nilai dan lainnya yang kita miliki bisa kita ubah sesuai dengan manfaat yang diberikan kepada kita, " tulis yuliawan lebih lanjut.

Hal itu senada dengan apa yang dinyatakan Bandler bahwa otak kita tidak didesain untuk memperoleh sesuatu, namun bisa menunjukkan kita ke jalan yang kita inginkan. Semua perilaku atau kondisi yang kita punya dikendalikan oleh otak. Nah, apabila kita tahu cara kerja otak, kitapun bisa dengan mudah merancang arah yang kita tuju. Sebaliknya, jika kita tidak tahu cara kerja otak, maka ia akan seperti benda asing di dalam diri kita. Di sinilah peranan NLP berkiprah. NLP berusaha membebaskan otak kita, membantu supaya semua "data" yang ada di otak bisa terorganisis dengan baik. " Brains aren't designed to get result; they go in direnctions. If you know how the brain works you can set your own direction. If you don't, then someone else will".



NLP Memprogram pikiran agara seseorang berkembang dan Sukses


Dari uraian mengenai NeuroLinguistic, dan programming, mungkin kita sudah bisa menarik makna dari NLP secara garis besar bahwa neuro mengacu pada peran sel-sel saraf otak dan fungsinya dalam menerima stimulus berupa informasi dari luar. Linguistic, terkait dengan peran bahasa sebagai media utama komunikasi dengan diri sendiri (intra-comunication) dan orang lain atau (inter-communication). Sedangkan Programming menyangkut soal perilaku yang terpola.

Jika demikian, apabila bahasa merupakan media yang berguna untuk mengontruksi pengetahuan atau informasi dan pengembangan diri, maka NLP - berikut peran bahasa - bisa dimaknai sebagai seperangkat alat untuk mengonstruksi atau memprogram pikiran agar seseorang bisa berkembang dan sukses.

Sampai disini, sudahkah kita bisa menemukan sedikit harapan yang diberikan oleh Dilts?


Sumber : 







Share:

MEMBENTUK KARAKTER ANAK dengan 3S

SEBAGAI UPAYA AWAL MEMBENTUK KARAKTER ANAK
YANG ANTI KEKERASAN
Nailul Fauziah
Endang Sri Indrawati
Fakultas Psikologi - Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, S.H. Tembalang Semarang
nailul_f@yahoo.com


Semua orang menginginkan dan membutuhkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Komunikasi dapat diawali dari suatu sapaan,senyuman dan ucapan salam sehingga menciptakan good rapport tahap awal terbentuknya komunikasi dengan orang lain. Pengantar pesan bahagia (happy messengers) di otak kita akan bekerja, jika menerima stimulus membahagiakan seperti senyuman dan sapaan. Keluarga disini sebagai mediator awal pembentuk karakter seseorang. Orang tua adalah guru pertama anak, keluarga adalah sekolah pertama anak, sebagai tempat penanaman nilai-nilai positif yang kelak akan terbawa hingga dewasa. Berawal dari proses pembiasaan (conditioning), anak diajarkan untuk menyapa ketika bertemu seseorang, bersalaman dengan tersenyum. Reaksi positif dari orang lain menjadikan anak akan mempertahankan perilaku tersebut, hingga akan selalu dilakukan ketika anak bertemu dengan siapa saja. Teori Thorndike, the law of effect berlaku disini, bahwa ketika reaksi dari orang lain positif sebagai reward tersendiri, maka perilaku tersebut akan cenderung diulangi. Orang tua akan kembali menambahkan nilai bahwa dengan tersenyum dengan orang lain, maka berarti kita adalah seorang yang ramah, punya tata karama, tepa slira dengan orang lain, maka konsep diri pun terbentuk bahwa dirinya adalah anak yang ramah dan mengerti tata krama dalam budaya Jawa. Karakter tersebut akan terbawa hingga dewasa, dan akan diaplikasikan ketika dia menghadapi suatu permasalahan. Budaya Jawa mengajarkan “kena iwake ora buthek banyune” dapat tercipta dari penanaman perilaku yang simpel yaitu ramah terhadap orang lain. Masalah tetap dapat terselesaikan namun hubungan baik juga tetap dapat dipertahankan. Tidak mengedepankan kekerasan ketika menyelesaikan suatu masalah. Karakter ramah dan anti kekerasan mempunyai manfaat ketika seseorang terjun ke dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat kelak.


Kata Kunci : Senyum, sapa, salam dan anti kekerasan


Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Cara manusia berhubungan dengan orang lain disebut komunikasi. komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi Mencakup Dimensi Isi Dan Hubungan. Dimensi isi mengurai masalah isi pesan yang ingin disampaikan, sedangkan dimensi hubungan memiliki makna yang lebih jauh lagi, seseorang berkomunikasi dengan orang lain bukan hanya agar pesan tersampaikan, namun juga membina hubungan baik dengan orang lain.

Permasalahan sering muncul dalam komunikasi, dan yang paling sulit untuk diselesaikan adalah menyangkut dimensi hubungan. Semua orang ingin membina hubungan baik dengan orang lain dan berlangsung lama. Pepatah mengatakan memiliki satu orang musuh terlalu banyak, dan memiliki seribu teman masih terlalu sedikit. Pepatah ini memiliki makna agar kita sebanyak mungkin dapat membina hubungan baik dengan orang lain.

Kemampuan berkomunikasi juga merupakan satu karakteristik utama yang dimiliki oleh seseorang yang berhasil. Oleh karena itu dalam berbagai bidang pekerjaan dan pergaulan, kemampuan berkomunikasi, terutama sampai membina hubungan baik dengan orang lain, sangat penting diajarkan sedini mungkin pada setiap orang.

Sapaan merupakan bentuk komunikasi awal kita dengan orang lain. Lebih komplit lagi ketika kita mengucapkan salam, sapaan dan sambil tersenyum, hal yang nampaknya sepele, namun mempunyai dampak yang luar biasa. perbuatan tersebut mampu menyembuhkan kekesalan, kegundahan, dan bahkan kesedihan.

Otak manusia mempunyai pengantar pesan sedih (sad messengers) dan pengantar pesan bahagia (happy messengers). Bila dalam keadaan tertekan dan sedih, otak akan menerima pesan sedih. Sebaliknya dalam keadaan senang dan gembira, otak akan menerima pesan bahagia. Pesan bahagia ini ada tiga macam yaitu serotinin, norodrenalin, dan doparmine. Serotinin dalam otak mengatur jam biologis kita agar bekerja sebagaimana mestinya. Serotininlah yang membuat kita tertidur pada jam tidur. Pesan bahagia “serotinin” membuat kita dapat tidur dengan nyenyak. Sebaliknya kondisi tertekan membuat kita tidak dapat tidur, sehingga serotinin tidak bekerja sebagaimana mestinya. Norodrenalin membuat tubuh merasa segar. Norodrenalin bekerja ketika pikiran kita membayangkan hal-hal yang membahagiakan, sehingga membuat kita bersemangat. Dopamine bekerja untuk membuat kita menikmati hidup dan mengurangi rasa sakit. Dopamine sering disebut sebagai pembunuh alami rasa sakit “natural pain killer”. Itulah alasan mengapa hanya seulas senyum, sapaan dan salam bisa menyembuhkan kekesalan, kegundahan, dan bahkan kesedihan (Setiawan, 2010).
Dalam kajian psikologipun, khususnya dalam kajian psikoterapi kita mengenal ”rapport”, makna rapport akan mempengaruhi hubungan klien-terapis selanjutnya. Ketika kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Ketika rapport yang dibina pada awal pertemuan klien dengan terapis bagus, maka kemungkinan besar hubungan akan berjalan lancar, dan sebaliknya, ketika terapis tidak mampu membuat rapport yang baik dengan klien, dapat dipastikan proses terapi mengalami hambatan untuk langgeng. Senyum, sapa dan salam merupakan salah satu bentuk ”good rapport” yang mudah dan penting untuk dilakukan.


Keterampilan berkomunikasi, khususnya mampu membina hubungan baik dengan orang lain, penting untuk dibentuk sedini mungkin. Karena makna dan implikasinya bisa bermanfaat dan terbawa hingga dewasa, membangun kepribadian yang positif terhadap orang lain dalam menyelesaikan permasalahan yang akan dihadapi kelak.

Keterampilan untuk selalu mengucapakan senyum, sapa dan salam, kemudian berlanjut membentuk hubungan yang langgeng dengan orang lain, orang lain pun akan memberikan judge pada kita bahwa kita adalah seorang yang ramah dan suka berteman dengan siapa saja, mempengaruhi konsep diri kita menjadi konsep diri yang positif, yang pada akhirnya membentuk kepribadian kita menjadi pribadi yang suka berteman dan tidak menyukai kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan, karena telah tertanam bahwa berteman sangat penting dalam kehidupan.

Budaya timur yang kita anut, sangat mengedepankan perdamaian dalam segala bidang, anti kekerasan, sedapat mungkin lebih mementingkan mempertahankan hubungan daripada isi suatu komunikasi. Tidak menyukai permusuhan. Nilai yang bisa kita ambil maknanya adalah ”kena iwake ora buthek banyune”, permasalahan dapat terselesaikan, namun hubungan tetap terjaga dengan baik. Ketika terjadi perselisihan, nilai perdamaian yang kita utamakan, jalan tengah atau win-win solution yang kita ambil. Ada dua cara mendamaikan dua kelompok yang berselisih, yaitu kesepakatan damai kedua belah pihak dan menghadapi musuh yang sama. Budaya timur lebih mengedepankan mengadakan kesepakatan damai. Hal tersebut berarti makna hubungan lebih dikedepankan ketimbang isi.

Kajian mengenai bagaimana perjalanan dari sebuah senyum, sapa dan salam dapat membentuk suatu kepribadian yang anti kekerasan, itulah yang akan kita ulas disini.

MEKANISME PEMBENTUKAN KARAKTER

1. Unsur dalam Pembentukan Karakter

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip (Byrne, 2007).

Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif (Gunawan, 2005).

Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra s\ebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.

Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar.

Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang merasa depresi karena setelah mendengar dan melihat berita tersebut, dia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang seperti berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil penalaran di pikiran sadar adalah kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan seperti pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan kesan berbeda dengan menambahkan contoh kalimat berikut ini, “...tapi aku punya banyak relasi orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan sehingga kesan ini dapat memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya diri.

Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.

Pikiran merupakan tempat mengelola berbagai informasi yang kita peroleh melalui panca indera kita, pemberian maknanya dilakukan di pikiran (persepsi), yang pada akhirnya akan mengambil sebuah kesimpulan tentang berbagai pengalaman yang diperoleh. Pikiran yang akan mengelola dan mengendalikan, apa yang akan kita lakukan dari kesimpulan-kesimpulan yang kita buat.


2. Proses Pembentukan Karakter

Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang damai dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan bahagia dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.

Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini adalah “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.

Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Orang tua adalah guru pertama anak dan rumah (keluarga) adalah sekolah anak. Pondasi tersebut adalah kepercayaan (basic trust) dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.

Kemudian ketika orang tua mengajarkan kita untuk menyapa, tersenyum dan mengucapkan salam kepada orang lain, maka orang lain akan bereaksi dan merespon positif pada perilaku kita. Maka hukum the law of effect teori Thorndike pun berlaku, ketika kita melakukan sesuatu dan mendapat reward atau respon positif dari orang lain, kita akan cenderung mengulangi perilaku tersebut. Reward atau respon positif dari orang lain dapat berupa senyuman kembali, dapat pula berupa pujian bahwa dia anak yang ramah, suka menyapa, pandai bergaul. Maka konsep diri seorang anak pun mulai terbentuk (Irawan, 2000).

Makna konsep diri adalah bagaimana seseorang memandang diri mereka berdasarkan pendapat orang lain tentang diri kita. Beberapa ahli merumuskan definisi konsep diri, menurut Burns (1993) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2000).

Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Dari konsep diri yang positif, semakin menguatkan suatu perilaku tersebut, sampai pada menjadi suatu kebiasaan (conditioning). Perilaku yang berulang dan berulang, akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang tertanam pada anak, dan akhirnya menjadi suatu karakter. Karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu (Singh, 2000).

Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.

Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.

Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.

Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.

Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah berawal dari pikiran, pikiran alam bawah sadar ketika masih kecil mempengaruhi bagaimana kita berperilaku dewasa nantinya. Segala hal yang diajarkan orang tua akan kita rekam dalam memori jangka panjang, yang akan menciptakan basic trust (kepercayaan diri) sebagai pondasi seseorang berperilaku. Kemudian reaksi atau respon atas perilaku anak, akan menciptakan konsep diri tertentu pada anak yang juga terus menerus berkembang dan setiap orang menginginkan memiliki konsep diri yang positif, disini pikiran sadar yang berperan. Pembiasaan dari orang tua, serta pembentukan konsep diri yang positif pada seseorang makin menguatkan suatu perilaku yang dilakukannya hingga menjadi suatu kebiasaan ( kembali alam bawah sadar yang berperan) yang pada akhirnya membentuk suatu karakter tertentu pada diri seseorang tersebut.

3. Karakter Anti Kekerasan

Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks sempit, yang biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau kekacauan, padahal kekerasan itu bentuknya bermacam-macam. Fenomena yang dapat dikategorikan dalam kekerasan yang seperti ini banyak sekali jumlahnya. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Thomas Santoso, 2002:11). Adanya berbagai perbedaan kategori dan bentuk kekerasan membutuhkan berbagai macam klasifikasi yang spesifik, bebas dari bias, dan jauh dari kelemahan kelemahan. Pembedaan atas bentuk-bentuk kekerasan yang analitis, tidak parsial, dan teliti harus memenuhi dua kriteria utama, yaitu objektivitas (objectivity) dan kelengkapan yang mendalam (exhaustivity).

Ada empat jenis kekerasan yang pokok yang memenuhi dua kriteria tersebut (Salmi, 2005:32), yakni: kekerasan langsung (direct violence), kekerasan tidak langsung (indirect violence), kekerasan represif (repressive violence), dan kekerasan alienatif (alienating violence). Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak lain (orang, masyarakat, institusi) yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual (rights to emotional, cultural, or intellectual growth).

Secara sederhana, tindak kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku seseorang yang dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik yang tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni: (1) kekerasan fisik, (2) kekerasan mental, dan (3) kekerasan seksual. Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral.

Menurut Lickona (1991), secara umum, nilai-nilai moral yang ditanamkan untuk mencegah berperilaku kekerasan dapat meliputi banyak hal, yaitu:

1. Sikap respect (menghargai) dan responsibility (tanggung jawab)
2. Kerjasama, suka menolong
3. Keteguhan hati, komitmen
4. Kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati, suka menolong
5. Kejujuran, integritas
6. Berani, kerja keras, mandiri, sabar, percaya diri, banyak akal, inovasi
7. Rasa bangga, ketekunan
8. Toleransi, kepedulian

Berdasarkan makna kekerasan yang luas inilah, maka penting untuk dilakukan pencegahan sedini mungkin menjadi individu yang anti kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, karena ruang lingkup makna kekerasan bukan hanya fisik namun juga mental. Kata kunci senyum, sapa dan salam sebagai pintu pembuka sebuah komunikasi dapat diterapkan dan diajarkan sedini mungkin, hingga mendapat reaksi positif dari orang sekelilingnya yang akan berpengaruh dalam pembentukan konsep diri anak sebagi anak yang ramah, respect (menghargai) orang lain, peduli, bahkan empati terhadap orang lain. Penilaian ini yang pada akhirnya menjadi suatu konsep diri yang menjadi nilai moral seseorang dalam berperilaku. Penguatan-penguatan yang diterima seseorang karena perbuatannya yang positif menjadikan perilaku tersebut terus dilakukan menjadi suatu kebiasaan yang berkembang menjadi karakter anti kekerasan.

BENTUK PENYELESAIAN MASALAH YANG ANTI KEKERASAN

Perilaku kekerasan tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika demikian halnya, pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan secara dini melalui program pendidikan agar budaya damai, sikap toleransi, empati, dan sebagainya dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar. Upaya pencegahan kekerasan melalui program pendidikan amat penting, jika kita mengacu hasil Penelitian Komisi Carnigie untuk Pencegahan Konflik yang Mematikan baru-baru ini. Komisi itu menyimpulkan hasil penelitiannya: (1) berbagai bentuk konflik yang mematikan bukan tidak mungkin untuk dapat dihindarkan; (2) kebutuhan untuk mencegah conflik yang mematikan semakin urgen; dan (3) pencegahan konflik yang mematikan adalah sangat mungkin untuk dapat dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah dibiarkannya konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural, edukatif, dan pedagogis. Dunia ini dalam keadaan bahaya bukan karena adanya kelompok orang tertentu melakukan berbagai kekerasan, tetapi justru disebabkan oleh orang-orang yang tahu adanya berbagai kekerasan tetapi tidak melakukan pencegahan apapun.

Dunia pendidikan sangat memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Secara teoritik ada banyak cara untuk memecahkan konflik seperti: menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan ke-kuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dsb. Cara-cara tersebut sering tidak efektif, dan selalu ada yang menjadi korban. Saat ini ada gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih populer disebut dengan conflict resolution (Resolusi Konflik). Bentuk-bentuk Resolusi Konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan integratif agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan. Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis. Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis dan dalam jangka panjang masyarakat yang demikian itu akan terisolir dari percaturan global.

Berbagai bentuk resolusi konflik yang dapat diintegrasikan dalam program pendidikan antara lain: (1) negosiasi; (2) mediasi; (3) arbitrasi; (4) mediasi-arbitrasi; (5) konferensi komunitas; dan (6) mediasi teman sebaya. Negosiasi merupakan salah satu bentuk resolusi konflik yang dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara dua atau lebih orang yang terlibat dalam konflik kekerasan dengan tujuan utama untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan.

Mediasi adalah sebuah proses yang bersifat sukarela dan rahasia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral untuk membantu orang-orang mendiskusikan dan menegosiasikan persoalan-persoalan yang amat pelik dan sulit agar tercapai kesepakatan sehingga konflik yang membawa berbagai bentuk kekerasan dapat dihindarkan. Langkah-langkah penting dalam mediasi sebagai salah satu bentuk dari resolusi konflik ialah: pengumpulan informasi, perumusan masalah secara jelas dan jernih, pengembangan berbagai opsi, negosiasi, dan formulasi kesepakatan. Bentuk Resolusi Konflik ketiga, arbitrasi, merupakan proses yang mana pihak ketiga yang netral mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan konflik setelah ia mengkaji berbagai bukti dan mendengarkan berbagai argumen dari kedua belah pihak yang sedang terlibat dalam konflik.

Selanjutnya, mediasi-arbitrasi merupakan sebuah hibrid yang mengkombinasikan antara bentuk mediasi dan arbitrasi. Artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam
konflik mencoba untuk melakukan pemecahan melalui mediasi, tetapi jika tdak ditemukan pemecahannya kemudian mereka menempuh cara arbitrasi. Bentuk Resolusi Konflik yang kelima, konferensi komunitas, merupakan dialog yang terstruktur dengan melibatkan semua unsur dan atau anggota masyarakat (pelaku kekerasan, korban, keluarga, para sahabat, dsb.) yang mengalami dan menderita akibat dari dari adanya kekerasan kriminal. Semua unsur masyarakat saling memberi kesempatan untuk menyatakan posisinya, persaannya, persepsinya, terhadap kekerasan yang sudah terjadi, dan bagaimana usul mereka untuk menyelesaikan persoalan yang ada itu.

Akhirnya, mediasi teman sebaya merupakan salah satu bentuk resolusi konflik di mana dalam proses itu anak-anak muda bertindak sebagai mediator untuk membantu menyelesaikan pertikaian di antara teman-teman sejawat mereka. Dalam konteks ini para siswa dapat dilatih dan diawasi oleh guru atau orang dewasa lain dalam melaksanakan perannya sebagai mediator. Dengan cara ini para siswa dapat mem-pelajari budaya damai dan budaya anti kekerasan dengan cara melibatkan diri dalam persoalan riil yang dihadapi oleh para rekan sejawat mereka.

Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya mendidikkan berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para siswa kita. Untuk ini kita dapat menggunakan pendekatan simulasi, bermain peran, observasi, penangaanan kasus, dsb. agar para siswa memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan. Dengan demikian, untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik sebagaimana dijelaskan di atas perlu diperkenalkan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara terintegrasi, bukan secara monolitik.

Hal ini berarti kita tidak perlu kurikulum secara khusus. Cukup guru memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang studi yang relevan dengan sifat dan hakikat resolusi konflik yang dikonseptualisasikan. Dengan cara ini maka dalam jangka panjang para siswa kita memiliki nilai dan perilaku anti kekerasan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan, sungguh kita sebagai bangsa akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada di Republik ini.


KESIMPULAN

Pada akhirnya, suatu karakter positif yang dimiliki seseorang, khususnya karakter anti kekerasan sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang yang berhasil dalam dunia kerja dan kehidupan masyarakat. Khususnya untuk dunia kerja, salah satu faktor penentu keberhasilan dunia kerja adalah SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkarakter, karakter yang dibutuhkan salah satunya adalah karakter anti kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah.

Budaya senyum, sapa dan salam sebagai ciri khas bangsa Indonesia merupakan salah satu kearifan lokal yang penting untuk diterapkan sedini mungkin dan dapat dijadikan kunci pembuka dalam komunikasi, yang nantinya akan membentuk berbagai perilaku yang mengarah pada nilai-nilai anti kekerasan.

Sesuai budaya Jawa yang mengajarkan keno iwake ojo buthek banyune yang memiliki makna penyelesaian masalah tanpa menimbulkan masalah baru, memilih jalan damai bagi semua pihak. Masalah terselesaikan, namun hubungan baik tetap terjaga. Kiranya nilai tersebut penting untuk kita anut dalam kehidupan kita.


DAFTAR RUJUKAN

Byrne, Rhonda. 2007. The Secret. Jakarta: PT Gramedia
Gunawan, Adi W. 2005. Hypnosis – The Art of Subconscious Communication. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Irawan,dkk. 2003. Psikologi Umum....
Jamil Salmi. 2005. Violence and Democratic Society: Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi. Yogyakarta: Pilar Media.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Mulyana, Dedy. 2000. Ilmu Komunikasi, Pengantar. Bandung : Remaja. Rosadakarya
N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan. 2000. Encyclopaedia of the Holy Qur’ân. New Delhi: balaji Offset.
Setiawan, Catur. 2010. “ Seulas Senyum Guru Sejuta Kebahagiaan Murid”. Online. Diakses tanggal 23 Agustus 2011. http://o-friends.web.id/artikel/57-artikel/206
Thomas Santoso. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia
Share:

APLIKASI DAN IMPLIKASI DOA DALAM PERSPEKTIF SALIC

APLIKASI DAN IMPLIKASI DOA DALAM PERSPEKTIF SALIC
(Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic)

Cipto Utomo*) dan Rt Anggraini**)
Berdoa merupakan kebutuhan utama untuk menjawab tantangan dan persoalan hidup, menenangkan jiwa, meningkatkan kekuatan, harapan serta optimisme. Berbagai upaya ditempuh individu dengan satu tujuan tunggal yaitu terkabulkannya doa tersebut. Dinamika kehidupan yang kompleks sering mendorong manusia mencari jalan  yang dipercaya dapat mendekatkannya pada tujuan usahanya atau setidaknya memberikan jaminan yang lebih pasti dengan cara berimprovisasi sesuai dengan kadar wawasan dan pengalaman hidupnya atau dengan cara meyusuri jalan yang telah dirintis oleh orang lain. Keyakinan bahwa Allah SWT adalah Rabb Yang Maha Dekat lagi Maha Mendengar serta Mengabulkan doa hamba-Nya, menjadi landasan legitimasi dalam kebebasan berekspresi untuk menyatakan hasrat dan harapan dalam untaian kalimat doa (bahkan juga pada penggunaan bahasa dan “ritual” doa). Meskipun Allah SWT telah menghimpunkan kalimat-kalimat doa di dalam Al Qur'an serta Rasulullah SAW juga telah memberikan banyak contoh kalimat serta tata cara berdoa (doa ma’tsurat), kreasi doa dalam berbagai kalimat, bahasa dan ritual tetap selalu muncul dari masa ke masa. Kajian ini dengan perspekstif SALIC (Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic) -sebuah pendekatan holistik terhadap nilai-nilai pragmatis aplikatif dalam spiritualitas Islam-, mencoba menjawab pertanyaan mengapa pada situasi yang sama tidak semua orang menggunakan bahasa atau kalimat yang sama dalam berdoa? Atau mengapa doa dengan bahasa dan kalimat yang sama memberikan efek berbeda, dan mengapa doa dapat bersifat teraputik, dan bahkan dapat menjadi alat perilaku agresi ?.
Apapun media bahasa atau kalimat serta tata caranya, doa diyakini memiliki energi untuk mengubah keadaan atau mewujudkan harapan atas kehendak dan perkenan Allah SWT. Kekuatan tersebut bisa berasal dari sisi “tekstual” dan “kontekstual” doa, potensi psikospiritual individu serta situasi-kondisi obyektif. Kontekstual meliputi latar belakang situasional yang melandasi niatsehingga menjadi struktur pembangun mindset, pilihan doa atau formulasi kalimat doa, hingga afirmasi (pe-lafadz-an doa). Afirmasi yang di dalamnya terkandung harapan (hope) dapat berupa  obsesional dan harapan yang sifatnya teraputik.
Ketika motion, emotion dan imagery telah terhimpun dalam satu “paket” perilaku doa maka penyempurnanya adalah pemunculan dzon (prasangka) terhadap Allah SWT. Prasangka inilah yang akan memberikan implikasi doa. Hal ini menjelaskan penyebab setiap individu memiliki doanya sendiri dan ketika mereka menggunakan doa yang sama ternyata hasilnya juga tidak selalu sama.

Kata kunci: aplikasi-implikasi, doa, perspectif Salic
*)    Master trainer Graha SALIC, MQ, Indomatrix
**)  Mahasiswa program doktoral Fakultas Psikologi UGM

Ñ° Makalah ini disampaikan dalam Konggres API tahun 2007, di UNISSULA Semarang





(Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic)

Oleh:
Cipto Utomo dan Rt Anggraini

Doa
Doa (prayer) berasal dari kata latin precarius (yang diperoleh dengan mengemis), danprecari (memohon, meminta dengan sangat ). Individu yang berdoa, adalah pertanda yakinnya seseorang atas kehadiran Allah SWT dalam setiap ayunan langkah serta desah nafas kehidupannya. Ketika seseorang mengangkat kedua tangannya, lalu terlafadzkan dari lesannya asma Allah, hakekatnya adalah sebuah penegasan dalam diri bahwa Dia benar-benar ada dan dirinya ingin meng-ada bersama-Nya. Doa adalah ungkapan kerinduan seorang hamba kepada Khaliknya. Doa adalah bahasa nurani ketika segala perasaan tidak lagi bisa terbendung oleh dinding keangkuhan dan keakuan, merupakan proposal hati untuk mengantarkan segala permohonan. Doa adalah simbol optimisme akan harapan masa depan dan merupakan lambang manusiawinya manusia yang butuh campur tangan-Nya Yang Maha Perkasa dan manusia percaya kepada janjiNYA. Toto Tasmara (1999) menegaskan di dalam doa ada sesuatu yang dituju, yang diharapkan. Sehingga, dalam kandungan optimisme tersebut manusia menjadi bergairah untuk berbuat dan menyatakan dirinya secara aktual dan bertanggung jawab di tengah-tengah perjalanannya meniti ombak samudera kehidupan yang penuh tantangan.

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu (QS Al Mukmin.40: 60).

Berdoa berarti memanggil diri sendiri. Jiwa dan kesadaran diseru, dihentakkan agar sadar bahwa "aku" sedang beraudiensi dengan Tuhanku. Tidak ada sikap yang paling terbuka, transparan dan telanjang, kecuali saat manusia sedang melaungkan doa, harapan dan munajat kepada Tuhannya. Begitu dahsyatnya doa yang prihatin sehingga dapat mengubah takdir (Toto Tasmara, 1999).
Dzat Allah terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Segala bayangan dan khayalan manusia yang dibangun di atas sendi logika manapun, baik berdasarkan imajinasi maupun referen berupa pengalaman inderawi tidak akan mampu menyentuhNya. Manusia hanya diperintahkan untuk mengimani bahwa dengan segala sifat-Nya yang mutlak, Dia senantiasa hadir, menyaksikan, mendengar, mengetahui serta mengawasi dan menjaganya tanpa pernah luput sedikitpun. Hubungan interaktif antara Dia-hamba-Nya tanpa ada jeda antara dan bentang area. Dzat-Nya tidak untuk dicari, tapi untuk dirasakan. Tidak untuk dikejar, karena cukuplah bagi manusia untuk kembali dari berpaling hanya kepada-Nya.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS. Al Baqoroh 2: 186)

Terdapat dua bentuk doa, yaitu: 1) petisi, meminta untuk dirinya sendiri dan 2) intercesi, memohonkan untuk orang lain. Dari isinya maka ada yang berupa konfesi (pengakuan, penyesalan, meminta pengampunan); lamentasi (berseru dalam kesesakan dan meminta pembalasan); adorasi (penghormatan dan pujian); invokasi (memangil Tuhan dan berteimakasih, bersyukur) (Dossey, 1987).
Doa adalah energi psikospiritual yang diaktifkan manusia ketika menginginkan adanya perubahan dari yang tidak ada menjadi ada dan sebaliknya, menjadi lebih baik atau berubah sesuai harapan subyektif individu. Implikasinya bisa individual dan bisa juga massif, menembus berbagai  dimensi, tidak dapat dibatasi oleh ruang, waktu dan tempat. Sekalipun doa bahkan dilakukan secara individual, subyektif ataupun soliter tapi energinya sangat potensial berimplikasi tak sekedar pada si individu pelakunya sendiri atau lingkungan terdekat individu saja. Implikasinya dapat menembus berbagai dimensi atau bentuk-bentuk dunia yang lain.  Inilah yang harus disadari oleh siapapun yang berdoa. Persoalannya adalah, apakah individu yang berdoa menyadarinya dan siapkah menerima implikasi tersebut?
Ada semacam tanggung jawab individual dan sosial ketika seseorang berdoa. Sekalipun tampaknya hanya ada relasi antara "KAU dan aku", tetapi sesungguhnya tidaklah hanya sekedar demikian, karena eksistensi aku tidaklah pernah benar-benar hanya aku tunggal, keberadaan satu aku tidak lepas dari aku-aku yang lain. Menurut penelitian berdoa dilakukan individu karena memiliki masalah yang menyangkut hubungan antar manusia sebagai motivator yang paling tinggi, mulai dari hubungan dalam keluarga, dalam kelompok kecil dan kemudian berlanjut dalam hubungan yang makin meluas atau jauh (Mahoney, et al., 2003). Menurut Anggraini (2000) masalah yang paling berat yang menjadi pendorongnya adalah masalah cinta (jatuh cinta maupun putus cinta, dalam rangka meraih, mendapatkan ataupun kehilangan cinta), kemudian masalah rejeki material (yang dalam hal inipun dapat diperinci mulai dari kebutuhan dasar), dilanjutkan dengan kebutuhan sosial yang lebih tinggi. Apabila diurutkan maka tampak bahwa ada semacam Maslow's hierarchy of needmulai dari basic need, social need, power need dan actualizaion need dan yang kemudian disempurnakan dengan spiritual need.

Konsep holistik memandang segala sesuatu sebagai saling kait mengkait, saling pengaruh mempengaruhi bagaikan jejaring, berupa kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan atau disekulerkan. Konsep holistik dalam memandang manusia sebagai sumber daya insani yang sangat dipengaruhi kualitasnya oleh kondisi psikologi, sosial-ekonomi,  fisik,  dan spiritual-religius bahkan ketika masih dalam gagasan (ide, cita-cita) orang tua. Kemudian dalam perkembangan kehidupannya Sumber Daya Insani sangat dipengaruhi faktor mikro dan makrokosmos. Manusia tidak hanya menerima pengaruh tetapi juga mempengaruhi bahkan menciptakan situasi kondisi, karena pada dasarnya pada diri setiap insan telah dilengkapi berbagai potensi fitrah dari Tuhan sebagai bekal tidak hanya untuk menerima stimulasi saja, tetapi juga untuk menghadapi, menguasai, memimpin dan mengubah lingkungan atau dunianya (Anggraini 2006).
Insan yang dekat dan sadar eksistensi Tuhan sebagai NUR (cahaya segala cahaya), dan menyadari eksistensinya dalam jaringan mikro-makrokosmos yang diperolehnya melalui belajar yang dimulai dengan perilaku "membaca" secara konsisten-konsekuen, bermotivasi intrinsik serta selalu berwawasan vertikal-horisontal dalam seluruh amalan, maka insan tersebut akan memiliki atau mencapai kecerdasan kosmik, yang pada akhirnya akan memudahkannya untuk menemukan dan mengurai permasalahan diri dan kehidupan.
            Berdasarkan konsep holistik, maka doa merupakan manifestasi dari diri manusia yang dengan kecerdasan kosmiknya akan "dapat mengubah takdir". Tidaklah mengherankan bila pada individu-individu dengan tataran atau tingkatan psikospiritual tertentu, doa tidak lagi sekedar dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan hidup seperti kebanyakan orang,  tetapi  motivasi tersebut meluas sedemikian rupa dan bersifat transpersonal. Sebagai contoh, hal itu semakin tampak jelas di kalangan para sufi yang menempuh jalan suluk. Mereka juga sering disebut para salik. Menurut Khan (1981) bagi para salik, doa merupakan cara untuk menjangkau hal-hal yang bagi individu kebanyakan tidaklah mungkin dicapai (dilakukan). Kesadaran mereka yang sangat tinggi tentang eksistensi Tuhan menimbulkan keyakinan bahwa segala sesuatu adalah mungkin, mampu membuka makna-makna dan mencapai tujuan hidupnya.
Dapat diperjelas bahwa melalui pencarian dan penelusuran jalan menuju makna, yaitu jalan menuju keterhubungan dengan Sumber Segala Cahaya maka setiap individu potensial akan mencapai suatu tataran intelligency cosmic. Jalan tersebut tidak sekedar dalam bentuk keyakinan tetapi berupa amalan-amalan nyata (action) yang bermakna melalui proses  iqro' (observasi, eksploration, research dengan perilaku open), yang pada akhirnya memunculkan pemahaman terhadap berbagai fenomena yang tergelar dalam kehidupan yang dihayatinya sebagai proseslearning (pembelajaran).
Doa dalam perspektif SALIC (Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic) merupakan salah satu ekspresi untuk membuka jalan dan menjalin keterhubungan (connection) pada Yang Maha Penghubung sehingga hukum sunnatullah berlaku.
Mendikte Tuhan
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqoroh 2: 216).

Dalam konteks makrokosmos-mirokosmos, hakekatnya antara individu dengan individu dan antara individu dengan universe terdapat hubungan saling terkait dan terikat dalam hubungan sebab akibat. Tidaklah satu kejadian maupun peristiwa berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan kejadian dan peristiwa lainnya, baik sebelum maupun kesudahannya. Allah SWT menciptakan alam semesta dengan prinsip keseimbangan yang sempurna (mizan, balance-harmony, keseimbangan sibernatik Q.S. 55:7), dan terus dijaga-Nya hingga masa kehancuran tiba (datangnya hari akhir). Di atas prinsip keseimbangan inilah skenarioNYA berlaku dan menjalankan takdir-Nya atas kehidupan yang tengah berlangsung, maka satu pergerakan akan senantiasa diikuti dengan pergerakan lainnya, satu perubahan akan diikuti perubahan lainnya (sunnatullah).
            Sayangnya, manusia sering terburu-buru ingin segera mendapatkan hasil, akibatnya tidak jarang doa menjadi bersifat agresif dan mengekspresikan pemaksaaan kehendak, seolah sedang mendikte Tuhan. Ketika harapan terwujud, individu mempersepsikannya sebagai hal terbaik yang seharusnya berlaku atas kehidupannya, sebaliknya ketika harapannya tidak juga terwujud memunculkan perilaku obsessif dalam bentuk doa yang intensif, makin panjang dan berulang, atau justru agresif pasif, "mogok", patah harapan atau bahkan marah padaNYA. 
Di samping terburu-buru, manusia juga sering melupakan eksistensi orang lain yang juga sama-sama punya hak untuk menaruh harapan kepada Tuhan yang sama, dan alam lingkungannya yang juga memiliki hak untuk dipertimbangkan dan dijaga keseimbangannya. Tuhan semesta alam, tentulah jauh (baca: mustahil) dari sifat dzalim dengan meninggalkan kebijaksaan-Nya dalam mengatur kehidupan. Kasih sayang-Nya melingkupi semua makhluk, tanpa terkecuali, secara logika dengan tidak terwujudnya semua harapan manusia justru tidak lain adalah bukti kebijaksanaan tersebut. Akibat kelengahan ini, ketika implikasi yang diterima individu jauh dari harapan dapat mengakibatkan degradasi keimanan yaitu tingkat kepercayaan yang menurun., padahal kepercayaan inilah yang dibutuhkan untuk terkabulnya sebuah doa.
Mendikte Allah SWT menunjukkan sifat patologis dalam berelasi denganNYA, merupakan ekspresi keangkuhan dan kesombongan karena individu telah menganggap dan menempatkan dirinya lebih tahu dari Dia Yang Maha tahu. Sikap ini akan semakin menjauhkan manusia dariNYA, bisa berimplikasi pada dibiarkannya manusia terlantar dalam buaian harapan dan angan-angan kosongnya, bahkan sikap tersebut bisa mengundang murka-Nya. Na'udzu billah!. Menurut penelitian Issa (2000) individu-individu yang demikian sangat rentan untuk kecewa, frustrasi, merasa gagal, kesepian yang mencekam, dan masalah-masalah psikopatologis lainnya .

Variasi Doa Komunikatif
Doa adalah inti peribadatan baik yang mahdloh dan non mahdloh, maka berdoa dapat dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan maupun cara yang disesuaikan dengan konteks kebutuhan. Doa yang baku bersumber dari ayat-ayat Al Quran dan hadits nabi, sedangkan tata pelaksanaan yang lebih banyak terkait pada aspek waktu dan konteks persoalan serta tujuan berdoa bervariasi sesuai kebutuhan dan dengan harapan mendapatkan manfaat (fadhilah) doa sebagaimana yang telah banyak diriwayatkan dalam kajian tafsir maupun asbabul wurud (konteks turunnya hadits).
Bagi penutur yang menguasai bahasa Arab, pemaknaan terhadap ayat-ayat al Qur'an maupun al ma'tsurat tidaklah menjadi kendala berarti, namun bagi non penutur lesan atau yang belum menguasai bahasa arab, pemaknaannya bisa jadi berkurang, bahkan bisa berbeda hingga keluar dari konteks doa. Individu seperti ini membutuhkan bantuan bahasa yang lebih mudah dimengerti dan umumnya mereka akan menggunakan bahasa ibu atau menyusun sendiri lafadz doa sesuai kebutuhan. Individu yang menguasai bahasa Arab-pun terkadang memilih untuk mengungkapkan doanya dengan lafadz yang bervariasi.
Bagi Allah SWT, lafadz doa sebagai media komunikasi yang variatif tidaklah menjadi masalah, karena Allah SWT Maha Mengetahui semua bahasa makhluk bahkan ketika individu diam atau hanya bersitan dalam hati. Dalam hal ini individu memiliki kebebasan mengekspresikan harapannya.
            Dalam banyak hal, doa benar-benar sangat subyektif, merupakan suara batin yang hanya dimengerti dan dipahami individu sendiri. Di dalam doa manusia merdeka untuk berbicara, bebas mengungkapkan suara hatinya tanpa merasa terbelenggu oleh apapun, tidak perlu gagap dan gamang. mengungkapkan perasaannya dengan optimisme yang luar biasa terhadap Allah. Bahkan Rasulullah membimbing semua manusia agar di dalam berdoa tidak dibenarkan ada semacam "reserve", baik bahasa atau ungkapan yang sangsi.
            Sabda rasul SAW: "berdoalah kepada Allah dan kamu harus berkeyakinan, maka pasti dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai (HR Turmudzi)" (Toto Tasmara, 1999).

Hal paling prinsip dalam berdoa adalah tertatanya niat dan terkonsentrasinya harapan dan tujuan yang dialamatkan hanya kepada Allah SWT, menembus dunia ragawi menuju dunia gaib, membumbungkan harapannya dari kaki langit menembus 'Arsy (kerajaan Tuhan). Pentingnya fokus dan konsentrasi dalam hal ini supaya manusia terhindarkan dari terbelokkannya doa pada hal-hal yang berunsur syirik, hingga merasa masih membutuhkan bantuan dari yang lain akibat lemahnya keyakinan akan kekuasaan Allah SWT.
Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang berdoa. Latar belakang yang berbeda ini melahirkan niat yang berbeda pula. Namun apapun niatnya, harapan yang diusung adalah terkabulkannya hajat yang diniatkan tersebut. Secara berurutan, inilah proses ideal yang menuntun seseorang pada pencapaian harapan melalui do'a:
a.  Latar situasi
Terdapat perbedaan individual dalam persoalan, latar situasi, dan tingkat kebutuhan problem solving manusia. Setiap kurun masa memiliki tantangan hidup yang berbeda. Setiap orang memiliki resistensi yang berbeda pula, di samping beragamnya alternative yang ditawarkan menambah kompleksitas tersendiri. Dalam konteks ini, berdoa bisa diposisikan sebagai alternatif  solusi atau menjadi solusi utama yang sangat berpengaruh pada kuat tidaknya niat.

b.  Niat
            Praktek-praktek keagamaan mengajarkan untuk menyambungkan diri dengan bagian diri yang terdalam, maka dapat dikatakan bahwa “Niat”  yang meliputi motivasi dan kehendak mempunyai kaitan yang erat dengan masalah emosi.  Perasaan menentukan tindakan dan sebaliknya, perilaku sering kali menentukan bagaimana perasaan individu (Zohar, 2000). Sekalipun “niat” tidak harus selalu diucapkan karena lebih merupakan suatu aktivitas batiniah, tapi niat bermakna sentral dalam segala perbuatan. Niat sebagai “al qasdu” (kehendak) dalam psikologi mencakup pengertian motivation dan goal. Motivasi merupakan alasan berbuat, sedangkan tujuan menyangkut kehendak yang ingin dicapai (Anggraini, 2001). Dengan panjang lebar motive (motif) diterangkan dalam kamus psikologi sebagai 1) satu keadaan ketegangan di dalam individu, yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada satu tujuan atau sasaran. 2) alasan yang disadari, yang diberikan individu bagi tingkah lakunya. 3) satu alasan tidak disadari bagi satu tingkah laku (unconscious motivation). 4 ) satu dorongan (drive), perangsang, rangsangan, Istilah drive terutama sekali di pakai menyangkut motif-motif primer , untuk mana basis jasmaniahnya telah diketahui. 5) satu set atau sikap yang menuntun tingkah laku (Chaplin, 1999). Motif psikologis terutama dipengaruhi oleh tipe masyarakat dimana seseorang dibesarkan, lingkungan dimana dia hidup, pengalaman hidup dan informasi apakah yang masuk dalam dirinya.
            Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat". Hal ini menjelaskan salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.

c.  Mindset
Permasalahan yang dirasa dapat terselesaikan lewat media doa yang menimpa seseorang atau suatu kaum bisa jadi pernah menimpa orang lain atau kaum sebelumnya. Hal ini bisa disimak melalui kisah-kisah dalam kitab suci, kumpulan hadits atau kumpulan kisah para ulama terdahulu. Ketika dirasa kejadiannya mirip atau bahkan sama (meskipun dengan kadar dan konteks yang berbeda), maka terjadilah proses imitasi doa, kreasi dan variasi. Kemiripan sebuah kejadian tidak mungkin sampai 100 persen untuk itu, yang diperlukan hanyalah menimbang kadar kemiripan pada kejadian yang dijadikan pembanding, yang paling dominan lantas dijadikan rujukan formulasi lafadz doa yang lebih kompleks. Berikutnya, pikiran dibingkai dengan satu keyakinan bahwa doa yang akan dipanjatkan adalah sebuah solusi, bukan sekedar aktivitas lesan, tetapi merupakan aktivitas sadar yang melibatkan: hati atau perasaan, motorik, seluruh indra dan alam lingkungan internal maupun eksternal. Jadi doa bukan sekedar kata-kata yang disusun dengan sedemikian indah seperti syair dan bukan semata-mata urusan kognisi dan perasaan saja (Gunawan,http://www.pembelajar.com)
d.   Formulasi
Seseorang akan menggunakan doa yang sama atau yang telah diformulasikan dengan satu harapan permasalahannya akan teratasi sebagaimana orang lain atau kaum terdahulu yang telah terbantu oleh doa tersebut. Sampai di sini, lahirlah kompilasi doa baik yang dilaksanakan secara individual maupun berkelompok (jamaah). Berdasarkan penelitian Ikemi (dalam Dossey,1997) menyimpulkan formula doa yang tidak meniru, spontan dengan bahasa hati yang tulus-jujur, dan individu menjadi dirinya sendiri dalam arti sesungguhnya dengan menghargai pengalaman dari kedalaman jiwa sendiri, sehingga doa muncul dari pusat jati dirinya, telah terbukti pengaruhnya yang kuat dalam peristiwa-peristiwa SRC (spontaneous regression of cancer). Bernie (1999) juga menyatakan doa yang tulus dan pasrah serta spontan akan beraya sembuh yang tinggi.
Hal tersebut akan sulit dilakukan oleh mereka yang tidak berkembang kecerdasan kosmiknya, karena kebanyakan individu lebih tergantung kepada formula orang lain akibat secara sadar maupun tidak, sifat dependensi kepada subyek atau obyek tertentu lebih besar dari dependensinya kepada Tuhan itu sendiri.
e.  Afirmasi (pelafadzan)
Mengapa kita perlu hati-hati dalam memilih kata dalam doa?
Bagian paling ekspresif dalam berdoa adalah ketika melafadzkannya. Hal yang ditimbulkan dari afirmasi tidaklah sederhana, lebih-lebih bila yang melakukannya memiliki tataran kepribadian tertentu dan memiliki energi psikospiritual yang tinggi dan terasah. Sebagai afirmasi semestinya kata-kata yang dilafadzkan haruslah hal-hal positif yang dilandasi oleh perasaan atau emosi positif dan konstruktif. Setiap kata mempunyai kekuatan dalam memprogram pikiran, kalbu, perilaku dan merubah alam. Gunawan (2007) menyatakan kata yang digunakan dalam doa, suka atau tidak, sebenarnya adalah afirmasi yang sangat dahsyat efeknya. Kata yang digunakan, secara sadar atau tidak, menentukan level dan kualitas berpikir  individu (http://www.pembelajar.com).
Diksi, intonasi, irama, volume, dan kuantitas pengulangan sangat berpengaruh terhadap semakin besarnya kesungguhan dalam berdoa dan energi yang dimunculkan. Hal ini bermula dari apa yang dipikirkan, dirasakan, diketahui dan dihayati serta diharapkan, yang kemudian diverbalisasikan baik secara keras, lembut maupun hanya dalam batin. Perilaku ini mengandung suatu energi hebat yang bahkan pengaruhnya tidak dapat dihijab-i, tidak berbatas waktu dan ruang. Energi ini muncul karena apa yang diekspresikan bermuatan segala hal yang telah dilampaui individu baik secara sadar maupun tidak sadar, pola-pola perasaan, kebiasaan, dan reaksi-aksi dalam jumlah yang tidak terhingga sepanjang hidupnya  Afirmasi yang menggunakan kata-kata negatif dan diperkuat dengan emosi negatif akan bermuatan energi negatif yang berdampak destruktif (Frager, 1999). Doa yang penuh dendam sebagai usaha membalas atau memaksakan kehendak mengekspresikan ketidak sabaran. Doa demikian dengan ijin Allah SWT dapat berproses dan menghasilkan sesuai harapan yang melafadzkannya, berdaya rubah yang besar, menimbulkan ketidak seimbangan baik secara mikro maupun makro. Namun demikian sejalan dengan Hukum Sebab Akibat atau Hukum Tabur Tuai, maka apa pun yang ditabur, melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan akan kembali pada individu yang menaburnya. Hal demikian juga merupakan manifestasi derajat insaniah pelakunya, manifestasi dominasi sisi negatif potensi dan kepribadian individu.
Sebuah afirmasi dari insan unggul yang memiliki kecerdasan kosmik hasil dari koneksitas dengan Sang Maha Kuasa (memiliki kesadaran ilahi atau divine consciousness) berkualitas tinggi, akan dapat mengubah dunia. Lebih-lebih bila afirmasi tersebut dilakukan secara masal dengan penuh penghayatan dan kesadaran, sehingga merupakan unjuk rasa kepada Tuhan. Menurut Walters (1987) afirmasi adalah pernyataan tentang kebenaran yang hendak diserap ke dalam kehidupan seseorang. Afirmasi yang dilakukan dengan konsentrasi yang mendalam dan diarahkan ke alam bawah sadar akan menggeser pikiran yang dikendalikan secara sadar (conscious control).
f.     Motion-Emotion
Situasi lingkungan sosial yang kompleks menyebabkan kadar keheningan jiwa dan kebeningan batin semakin menurun. Untuk menciptakan kekhusukan dan konsentrasi dalam berdoa semakin berat tantangannya. Maka diperlukan mediasi yang mampu membantu pengkondisian jiwa, maka muncullah beragam ritual doa, mulai dari sekedar memainkan irama suara hingga gerakan-gerakan fisik (motion) yang melibatkan batin (emotion). Wujud gerakan fisik bisa berupa gerakan tangan, jari-jari, anggukan atau gelengan kepala, gerakan rukuk atau sujud, atau bahkan semacam tarian. Wujud gerakan batin misalnya menangis, meratap, atau bahkan teriakan semangat (Eaton, 2002).
Berdoa adalah pekerjaannya hati karena yang paling menentukan doa adalah perilaku hati.Hati akan bisa memohon sesuatu, jika  paham apa yang terkandung dalam doa-doa yang dipanjatkan. Kata Rasul: "Ud'ullaaha wa antum muuqinuuna bil ijaabah, wa'lamuu annallaaha 'azza wajall laa yastajiibu du'aa'an min qalbin ghaafilin" (Berdoalah kepada Allah seraya mantap apa yang kamu panjatkan itu terkabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah Yang Maha Agung tidak akan mengabulkan doa dari HATI YANG LUPA). Maksudnya "hati yang lupa" disini tiada lain adalah doa yang tidak disertai dengan rintihan hati; doa sambil melamun; doa sekedar hafalan tidak tahu makna kalimat-kalimat yang ia panjatkan; dan semacamnya (Hidayat, http://www.pesantrenvirtual.com).
g.        Hope
Semangat dalam melakukan afirmasi yang disertai motion-emotion erat kaitannya dengan hope (harapan) yang hendak dicapai, karena harapan yang semakin tinggi meningkatkan energi psikospiritual doa. Perlu dimengerti, saat individu berdoa, batinnya menelusup masuk ke dalam dimensi gaib, menggetarkan 'arsy Tuhan (hal serupa terjadi ketika dimensi ke-Tuhanan masuk ke dalam dimensi sanubari manusia yang mampu menggetarkan dinding-dinding jiwa). Getaran energi inilah yang kemudian mendorong terjadinya gerakan massif seluruh elemen makrokosmos (universe) dibawah kuasa skenario Tuhan, membentuk sebuah formasi sebagaimana dikehendaki oleh harapan individu yang sedang berdoa.
Inilah fase yang sangat signifikan ketika berdoa. Pada fase ini, elemen makrokosmos akan langsung berhadapan dengan getaran jiwa. Bahasa yang akan dimanifestasikan adalah bahasa jiwa, bukan lagi bahasa lesan. Maka apapun bunyi proposal harapan yang terucap oleh lesan, yang akan di-aminkan oleh universe adalah harapan yang melekat-menyatu di jiwa. Di sinilah terletak rahasia, mengapa ketika melafadzkan doa yang sama, orang yang berbeda akan mendapatkan implikasi yang berbeda dari doanya. Hal ini dikarenakan betapa mudah meng-imitasi lafadz doa orang lain, tapi sangat sulit untuk juga meng-imitasi harapan yang melekat-menyatu di jiwanya..
h. Imagery
Imagery (penisbatan) membantu hope tervisualkan lebih jelas dan ini semakin menguatkan afirmasi. Contoh imagery ada dalam kalimat doa berikut, "ya Allah, sesungguhnya Engkau telah tunjukkan ayat-Mu padaku dalam kisah rasul-Mu yang telah Kau uji dengan ujian yang mirip denganku. Jika dengan doa yang sama dengan doa yang kupanjatkan pada-Mu ini Engkau berkenan mengeluarkannya dari kesulitan, maka keluarkanlah aku dari kesulitan ini".
Tidak jarang ketika berdoa, individu berfikir bahwa dirinya tengah berhadapan dengan Dzat yang berjarak antara langit dan bumi dengan dirinya, padahal sebenarnya Dzat yang sedang diajaknya berkomunikasi adalah Dzat yang tiada berjarak. Individu beranggapan seakan-akan doanya akan melintasi anak tangga yang bertumpuk-tumpuk hingga tiada kelihatan ujungnya untuk bisa sampai pada Sang Penerima Doa, padahal Dialah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, bahkan sebelum kata-kata belum terucap dan masih berupa lintasan fikiran atau gerakan jiwa.
Untuk dapat melakukan imagery, individu harus tahu persis dengan siapa dia berhadapan. Harus pula tahu, bagaimana sifat-sifatNYA yang mendorong manusia harus optimis bahwa sebuah doa pasti didengar dan dikabulkan serta bagaimana proses terkabulnya doa. Ketika pengetahuan ini sudah menjadi sebuah keyakinan yang kuat, individu akan merasakan sebuah hubungan yang intim tiada berjarak sehingga ia bebas mengutarakan apa saja, termasuk menyampaikan hal-hal mendetail terkait harapan yang disampaikan melalui proposal doanya. Dalam hal seperti inilah salah satu peran kecerdasan kosmik berpengaruh sangat besar.
i.          Dzon
Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsy yang menyatakan bahwa "Aku adalah sebagaimana hamba-Ku berprasangka terhadap-Ku..". Pada tahapan inilah, kepasrahan (tawakkal) diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT dengan prasangka positif bahwa Dia akan berikan hasil yang terbaik dari ikhtiar berupa do'a yang telah disempurnakan sebelumnya.
Sikap ideal ketika berdoa atau saat bersiap menerima implikasi doa, adalah meyakini apa yang diterima sebagai yang terbaik dengan pasrah. Kepasrahan diwujudkan dalam bentuk kesungguhan ikhtiar dan harapan hasil terbaik (action toward ultimate achievement) sebagai kewajiban manusia yang disadari. Adalah hak Allah SWT untuk menciptakan skenario terbaik, dan manusia yang baik selalu berfikir positif terhadap skenarioNYA.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS. Ath Thalaaq; 65: 3)

Dzon yang terbangun atas implikasi doa yang diberikan Tuhan akan senantiasa positif apabila didasari sebuah kerangka berfikir bahwa tugas hidup manusia di dunia ini memang hanya dua, pertama senantiasa meluruskan niat dan kedua, menyempurkan ikhtiar. Jika berupaya semaksimal mungkin, apa yang menjadi keinginan Insya Allah akan terwujud. Namun, bersamaan dengan kepercayaan diri untuk mengoptimalkan ikhtiar, sebagai manusia juga harus menyadari beragam keterbatasan yang dimiliki serta memahami hukum keseimbangan. Kadangkala, terjadi sesuatu di luar jangkauan akal dan pikiran. Atau malah ada sebuah kondisi dimana seseorang telah mengerahkan seluruh kemampuan, tapi tidak kunjung berhasil. Saat ini kesadaran sebagai manusia biasa dengan banyak kekurangan harus dibangkitkan. Tanpa kesadaran ini, hidup akan dipenuhi rasa galau, gelisah, resah, cemas dan penuh ketidak puasan.
Banyak studi membuktikan bahwa doa secara positif dan sangat signifikan mempengaruhi perubahan tekanan darah, penyembuhan luka, serangan jantung, sakit kepala, dan menurunnya kecemasan (Anggraini, 2004: Dossey, 1987). Subyek penelitian mencakup air, enzim, bakteri, jamur, ragi, sel-sel darah merah, , sel kanker, sel pemacu, benih, tumbuhan, ganggang, , larva, ngengat, tikus, dan anak ayam, dan terbukti pengaruhnya pada waktu yang diperlukan untuk sadar dari pembiusan, efek otonom elektrodermal kulit, kadar hemoglobin dan laju hemolisis sel-sel darah merah (Dossey, 1987).
Dengan demikian betapa ruginya jika hidup yang sekali-kalinya ini dihiasi perasaan negatif, hanya karena sebuah kejadian, atau peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginan. Selama hidup, peristiwa-peristiwa di luar kehendak manusia pasti akan terjadi lagi, karena manusia memang tidak berdaya upaya apapun.  Dan harus menyadari seyakin-yakinnya, bahwa Allah SWT mempunyai rencana tersendiri bagi setiap diri manusia. Menurut Gymnastiar (2007) segala sesuatu yang kemudian terjadi, bukanlah sebuah masalah, karena itulah keputusan terbaik dari Allah bagi manusia, hamba yang disayangi-Nya. Sekalipun  bersikeras tidak mau menerima kehendak-Nya, namun bisa jadi memang hal itu yang terbaik (http://www.cybermq.com)

Implikasi Doa
Hubungan manusia dengan Tuhannya adalah sebuah hubungan tiada berjarak, tiada terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. Kapanpun dikehendaki, manusia bisa berkomunikasi dengan-Nya. Demikian pula sebalik-Nya, pesan-pesanNYA yang terangkum dalam kalam maupun ayat senantiasa tergelar sepanjang masa tiada sedetikpun mengalami jeda. Apapun bahasa manusia, Tuhan memahaminya. Tetapi sebaliknya, manusia sering tidak memahami bahasa Tuhan yang tengah berkomunikasi dengannya. Pemahaman bahwa setiap kata pasti terbalas, setiap doa pasti terjawab adalah benar adanya. Namun karena tidak semua manusia memahami bahasa Tuhannya, inilah yang menjadi pangkal lahirnya multitafsir terhadap kejadian yang notabene adalah bahasa komunikasi Tuhan sebagai implikasi doa.
Daun jatuh, pohon tumbang, air mengalir, awan berarak, malam berselimut dingin, hingga air bah meluap, bumi terbelah, langit terguncang adalah bahasa Tuhan. Sehat, sakit, sedih, bahagia, gagal, berhasil, celaka adalah bahasa Tuhan. Ketika Tuhan ingin menampakkan pelangi, terlebih dahulu menurunkan hujan. Ketika ingin menampakkan asap, terlebih dahulu Tuhan memberikan api. Inilah hukum sebab akibat yang juga adalah bahasa Tuhan.
Ketika manusia menengadahkan tangan, menggetarkan jiwanya sembari melantunkan lafadz doa dengan maksud menjalin komunikasi dengan Tuhan Yang Gaib, pada saat yang sama idealnya ia juga harus siap menerima respon balik berupa jawaban dengan menggunakan bahasa Tuhan. Positif atau negatif penerimaan individu terhadap bahasa Tuhan tergantung persepsi masing-masing. Yang sunnatullah, akan senantiasa mengiringi kehidupan ini selamanya dan manusia harus senantiasa siap menerima hukum yang kekal ini.
Kesiapan atau ketidaksiapan individu menerima hukum sebab akibat serta sadar atau tidak sadarnya individu mengenai keterikatan dan keterkaitannya (mikrokosmos) dengan universe (makrokosmos) akan memberikan dampak bahkan tidak hanya dalam perilaku doa tetapi dalam semua perilaku karena dampaknya yang bersifat holistik. Hal ini didukung oleh pernyataan yang sungguh mengembirakan dari AAFP (American Academy of Family Physicians) (1996) bahwa masalah kesehatan individu, kebahagiaan, keluarga dan produktifias semestinya tidak didekati secara sekular. Pendekatan holistik yang melibatkan spiritualitas merupakan pendekatan mutakhir yang paling rasional untuk memahami manusia secara komprehensif. Berdasarkan konsep yang sama, Ismail (2003) berpendapat bahwa  permasalahan manusia sesungguhnya lima puluh persen (50 %) adalah masalah spiritualitas-religius, dua puluh persen (20 %) masalah emosi, dua puluh persen (20 %) masalah mental, dan yang sepuluh persen (10%) adalah masalah fisikal. Pendapat itu menunjukkan bahwa masalah spiritual (religius) merupakan faktor yang sangat penting dan dominan di dalam kehidupan.

Kesimpulan
Apapun media bahasa atau kalimat serta tata caranya, doa diyakini memiliki energi untuk mengubah keadaan atau mewujudkan harapan atas kehendak dan perkenan Allah SWT. Kekuatan tersebut bisa berasal dari sisi “tekstual” dan “kontekstual” doa, potensi psikospiritual individu serta situasi-kondisi obyektif. Kontekstual meliputi latar belakang situasional yang melandasi niatsehingga menjadi struktur pembangun mindset, pilihan doa atau formulasi kalimat doa, hinggaafirmasi (pe-lafadz-an doa). Afirmasi yang di dalamnya terkandung harapan (hope) dapat berupa  obsesional dan harapan yang sifatnya teraputik. Ketika motion, emotion dan imagery telah terhimpun dalam “paket” perilaku doa maka penyempurnanya adalah pemunculan dzon (prasangka) terhadap Allah SWT. Prasangka inilah yang akan memberikan implikasi doa. Hal ini menjelaskan penyebab setiap individu memiliki doanya sendiri dan ketika mereka menggunakan doa yang sama ternyata hasilnya juga tidak selalu sama.
Kesadaran dan penghayatan terhadap ungkapan: ...sungguh, tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan kehidupan ini. Semua peristiwa, pertemuan - perpisahan, kelahiran - kematian, kebangkitan - kejatuhan, .. semua berada dalam bingkai skenario Allah SWT, Dzat Yang Maha Berkehendak (Qur’anic Psychocybernetic) merupakan salah satu manifestasi dari kecerdasan kosmik yang sangat penting didalam perilaku doa, agar perilaku tersebut berimplikasi positif.


DAFTAR PUSTAKA

AAFP (American Academy of Family Physicians).1996. Sprituality & Healing in Medicine. Topline Findings (Oktober, 1996)  From Website at www.nihr.org

Anggraini, R. 2001. Psikologi HajiSemarang: LBMH-KBIH PD Muhammadiyah.
Anggraini. 2002. Catatan Perjalanan Haji-Perjalanan Cinta untuk yang Tercinta Semarang: LBMH-KBIH PD Muhammadiyah
Anggraini. 2004. Stres dan Orientasi Motivasi Calon Haji Serta Seni Pernafasan Dengan Dzikir Dalam Latihan Manasik Haji. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan.

Bernie, S.S. 1999. Love, Medicine and Miracles. Lessons Learned About Self Healing from a Surgeon’s Experience with Exceptional PatiensTerjemahan: Hermaya, T. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama

Chaplin, J. P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi.  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.

Dossey, L.M.D. 1997. Healing WordsTerjemahan Hermaya, T. Jakarta :  Gramedia Pustaka Utama

Eaton, C.L.G. 2002. Remembering God: Reflection on Islam (Dzikir Plus: Sebuah Renungan Spiritual). Terjemahan: Wirasubrata, B. Jakarta : Cendekia.

Frager, R. 1999. Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance and Harmony.Wheaton USA: Theological Publishing House.

Gunawan, A.W. 2007. The Magic of Prayer and Forgiveness, Topline findings (Juli.2007) From:http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=795 &page=2

Gymnastiar, A. 2007 Menyadari Keterbatasan Diri, Topline findings (Juli.2007) From:http://www.cybermq.com/index.php?kolom/detail/2/321/kolom-321.html)

Hidayat, A. 2007.  Doa Sesudah Shalat, Topline findings (Juli.2007) From:http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=503&Itemid=30

Issa, A.  2000. Al-Junun: Mental Illness in The Islamic World. Madison Connecticut: International Universties Press, Inc.
Ismail. 2003. Intibah: Buku Panduan Perawatan Sumber Ilahiyah. Perlis Malaysia: Intibah.

Jackson, L.E. & Coursey, R.D. 1988. The Relationship of God Control and Internal Locus of Control to Intrinsic Religious Motivation Coping and Purpose in Life. Journal of the Scientific Study of Religion. 27. 399 – 410.

Khan, H I., 2000. Spiritual Dimensions of psychology. Terjemahan: Haryadi, A. Bandung: Pustaka Hidayah.

Mahoney, et al. 2003. Religion and the Sanctification Of Family Relationships. Review Of Religious Research Vol. 4413.

Toto Tasmara. 1999. Dimensi Doa dan ZikirYogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.

Walters, J.D. 2000. Affirmations for Self Healing. Terjemahan: Teguh, A.H. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Wilcox, L. 2003. Ilmu Jiwa berjumpa Tasawuf (sebuah upaya spiritualisasi psikologi). Terjemahan: Bagoesoka, IG. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

Zohar, D. dan Marshal, I. 2000. SQ: Menfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai KehidupanBandung : Mizan
Share:

Ordered List

Sample Text

Definition List

Total Tayangan Halaman