This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 14 April 2017

PRINSIP-PRINSIP PSIKOMETRI

Apakah Psikometri Itu?
Seperti halnya ekonometri dan biometri, maka psikometri dapat didefinisikan sebagai "penerapan/penggunaan metoda-metoda statistika pada data tentang perilaku manusia (data psikologi)". Oieh sebab itu, jika anda membaca buku-buku teks tentang psikometri atau jurnal yang diterbitkan oleh perhimpunan ahli psikometri (the Psychometric Society) seperti "Psikometrika", maka yang akan anda jumpal adalah dua hal, yaitu:
·         pembahasan teiitang teori-teori statistika yang sering dipakai pada data psikologi seperti teori estimasi, teori distribusi, dsb,
·         pembahasan tentang penggunaan/ aplikasi metoda statistika tertentu dalam pengolahan data di bidang psikologi.
Pada jenis yang pertama materinya lebih bersifat teori statistika dan sering disebut sebagai "teori psikometri", sedangkan yang kedua biasanya disebut "psikometri terapan". Baik pada jenis yang pertama maupun yang kedua, yang dibahas dalam bidang psikometri adalah sama yaitu selalu tentang statistika.
Berbeda dengan data di bidang ekonomi, biologi, dan fisika, data di bidang psikologi sebagian besar diperoleh melalui proses pengukuran yang bersifat tidak langsung, dan dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sulit untuk divalidasi dan dikalibrasi. Oleh sebab itu, yang dibahas di dalam psikometri tidak hanya tentang penggunaan statistika untuk menerangkan hubungan antara variabel-variabel psikologis yang telah terukur/ada datanya, tetapi juga mengenai aplikasi statistika untuk untuk menerangkan "mutu data" itu sendiri sebagai hasil dari suatu upaya/proses pengukuran. Bahkan, di dalam banyak buku tentang psikometri sering ditemui isi materi yang didominasi oleh pembahasan yang mendalam dan panjang lebar tentang "pengukuran" tersebut. Akibatnya, sering timbul kesan bahwa psikometri adalah ilmu/metoda tentang pengukuran variabel-variabel psikologis(teori tes) semata. Padahal, model-model matematis/statistis yang ditelaah di dalam psikometri adalah menyangkut baik tentang "model pengukuran" measurement model maupun "model tentang hubungan antara variabel-variabel yang terukur" structural model. Bahkan, dalam perkembangannya saat ini, ilmu psikometri telah mplangkah lebih maju lagi dengan telah berha'iil dipadukannya kedua jenis model di atas sehingga hubungan antara variabel-variabel yang "tak terukur" pun telah dapat diterangkan dan diuji secara empirik.

Psikometri dan Pengembangan Tes
Karena yang menjadi fokus pembicaraan dalam lokakarya ini adalah tentang pengggunaan tes psikologi untuk menseleksi calon karyawan, maka konsep-konsep psikometri yang akan disajikan di sini pun adalah tentang kedua model yang telah dikemukakan di atas dalam kaitannya dengs-n keberhasilan dari suatu proses seleksi. Namun demikian, mengingat kemungkinan beragamnya tingkat pemahaman statistika para peserta, maka seluruh pembahasan akan dilakukan secara non-statistikal dalam arti bahwa rumus-rumus serta model matematis dari konsep yang dibahas tidak akan disajikan. Pertama, pada bagian ini akan dibahas konsep-konsep yang berkenaan dengan measurement model, yang dalam hal ini adalah tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu tes sebagai "alat ukur" sehingga data yang dihasilkannya dapat dipercaya. Kemudian, pada bagian selanjutnya akan dibahas pula segi structural model nya, yang dalam hal ini adalah berkenaan dengan "penggunaan yang tepat dari suatu atau beberapa tes yang telah diuji mutunya" sehingga dapat diperoleh suatu keputusan seleksi yang optimal.
Konsep yang pertama yang perlu dikemukakan adalah tentang "tes" itu sendiri. Secara operational, tes dapat dinyatakan sebagai himpunan pertanyaan pertanyaan yang harus di jawab, atau pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ ditanggapi, atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites (testee) dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek perilaku dari orang yang di tes. Contoh yang sederhana adalah tes prestasi belajar, di mana hal yang hendak diukur ialah tingkat sejauh mana seorang siswa telah menguasai bahan pelajaran yang telah diajarkan kepadanya. Di sini, prestasi belajar dapat meliputi aspek pengetahuan dan ketrampilan seseorang. Dalam istilah psikologi, aspek intelektual dan pengetahuan disebut aspek kognitif sedangkan aspekketrampilan disebut aspek motorik. Selain tes untuk aspek intelektual dan ketrampilan, ada pula tes psikologis yang dimaksudkan untuk mengukur hal-hal yang berkenaan dengan karakteristik pribadi (watak, motivasi, minat, sikap, konsep diri, dsb.), yang soring kali disebut sebagai tes kepribadian atau "personality test". Banyak ahli psikologi tak mau menyebut alat ukur jenis ini sebagai "tes" tetapi merpka menggunakan sebutan "inventory", atau "scale". Bahkan banyak dari mereka yang begitu berhati-hati sehingga tak menamakan pengukuran aspek kepribadian seseorang ini dengan istilah "measurement" tetapi cukup menggunakan istilah "assessment".
Tes yang dimaksudkan sebagai alat ukur aspek kognitif biasanya dibagi menjadi dua jenis, yaitu apa yang disebut "tes kemampuan" (power test) dan "tes kecepatan" (speed test). Pemahaman tentang pembagian jenis tes ini amat penting karena sifat-sifat yang harus dimiliki kedua jenis tes tersebut amat berbeda. Adapun perbedaan sifat tersebut adalah sebagai berikut:
  • Prinsip dari suatu "power test" adalah tidak diperbolehkannya pembatasan waktu di dalam pengerjaan tes. Menurut prinsip ini, hanya jika waktunya tak dibatasi, barulah hasil tes itu akan benar-benar mengungkapkan kemampuan seseorang. Adanya pembatasan waktu diperkirakan akan menyebabkan orang menjadi tidak dapat menunjukkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, sehingga skor yang dihasilkan tidak menunjukkan kemampuan yang sebenarnya dari orang tersebut. Namun demikian, adalah tidak efisien jika orang yang paling lambat pun harus ditunggu sampai ia menyelesaikan tes yang dihadapinya, terutama pada tes yang diberikan secara klasikal (kelom-pok). Sebagai kompromi, biasanya para ahli tes masih menganggap suatu pelaksanaan tes sebagai "tes kemampuan" (power test) jika sebagian besar orang yang dites dapat menyelesaikan tes tersebut dalam waktu yang disediakan. Hal ini perlu untuk diperhatikan oleh orang yang akan menyusun kisi-kisi suatu tes.
  • Sebaliknya pada sebuah "speed test", yang diukur di sini ialah kecepatan di dalam memikirkan atau mengerjakan sesuatu. Jadi, yang harus dilakukan hendaknya merupakan pengulangan tugas yang sama dalam suatu periode waktu yang ditentukan. Tugas tersebut sebaiknya dibuat semudah mungkin sehingga yang diukur benar-benar kecepatan bekerja/ berpikir dan bukanlah kemampuan orang tersebut. Tes prestasi belajar yang kita susun umumnya adalah tes prestasi yang bersifat tes kemampuan (power test).
Tes yang dimaksudkan untuk mengungkapkan aspek watak/ kepribadian pun terdiri dari duajenis yaitu tes kepribadian yang bersifat "proyektif" dan yang'bersifat "non-proyektif". Tes yang bersifat proyektif adalah yang menuntut orang yang di tes untuk memproyeksikan perasaan maupun pendiriannya melalui cerita, gambar, tulisan, dan sebagainya. Dalam hal ini, orang yang di tes biasanya tidak menyadari/ mengetahui aspek apa yang sebenarnya hendak diungkapkan oleh tes yang dihadapinya. Contoh dari tes seperti ini adalah "Thematic Apperception Test" di mana orang dihadapkan kepada kartu berisi gambar kemudian diminta untuk mengarang cerita tentang apa yang terdapat dalam gambar tersebut. Selanjutnya, tes kepribadian yang bersifat "non-proyektif" adalah yang berbentuk lebih obyektif dalam arti orang yang di tes diminta memilih alternatif tanggapan yang telah tersedia terhadap suatu pernyataan atau situasi yang disajikan. Pada tes jenis ini, pengolahan data dan penafsirannya adalah seperti halnya pada tes bidang aspek kognitif dan ketrampilan di atas. Contoh sederhanii dari tes yang bersifat "non-proyektif" adalah "skala sikap".

Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa tes itu adalah sebuah alat ukur, sebagaimana halnya dengan alat ukur panjang (misalnya mistar), alat ukur berat (timbangan), alat ukur suhu (termometer), dan sebagainya. Bedanya ialah bahwa tes dimaksudkan untuk mengukur aspek perilaku manusia. Oleh sebab itu, segala persyaratan bagi sebuah alat ukur yang baik, berlaku pula bagi sebuah tes.
Syarat pertama ialah bahwa setiap alat ukur yang baik hanya mengenai/ mengukur satu dimensi/ aspek saja. Mistar hanya mengukur jarak/panjang, timbangan hanya mengukur berat, dan sebagainya. Jadi sebuah tes prestasi belajar di bidang matematika, misalnya, setiap butir soalnya harus mengukur hanya pengetahuan matematika saja. Pada alat ukur di bidang fisika, pemenuhan syarat yang pertama ini biasanya lebih mudah. Namun pada alat ukur perilaku manusia, pemenuhannya lebih sukar. Pada butir soal matematika, tidak mustahil terdapat unsur bahasa, atau bentuk soal yang belum biasa dikenal oleh siswa, dsb., sehingga berhasil tidaknya siswa dalam menjawab soal tersebut akan bergantung pula pada aspek lain selain kemampuannya di bidang matematika. Dalam hal ini, kemampuan siswa dalam menjawab soal tersebut dengan benar tidaklah semata-mata ditentukan oleh pengetahuannya di bidang matematika, melainkan ditentukan pula oleh pemahamannya terhadap hal bahasa, bentuk soal, dan sebagainya itu. Dengan kata lain, dapat saja terjadi bahwa di dalam sebuah tes matematika terdapat butir-butir soal yang sebenarnya tidak sepenuhnya mengukur kemampuan matematika. Tes seperti ini disebut kurang "valid" (kurang sahih). Ukuran tentang sejauh mana skor yang dihasilkan oleh sebuah tes men-King terbukti mengukur apa yang diniati hendak diukur, disebut "validitas" dari sebuah tes. Setiap tes psikologi yang hendak digunakan, termasuk bagi keperluan seleksi calon karyawan, harus terlebih dahulu diuji dan diketahui tingkat validitas nya.
Berkenaan dengan hal di atas, hanya jika sebuah tes (misalnya tes matematika) bersifat "satu dimensi" (unidimensional), barulah kita boleh menamakan skor total dari tes tersebut sebagai skor untuk dimensi yang diukur (dalam hal ini "skor matematika"). Jika ada sebuah dimensi yang sifatnya lebih umum/luas seperti misalnya "inteligensi" atau "pengetahuan sosial", maka perlu disusun sub-sub tes yang berdimensi tunggal (unidimensional) yang hanya mengukur satu aspek saja dari "inteligensi" atau "pengetahuan sosial" itu. Dalam hal ini disyaratkan bahwa setiap aspek/sub-tes harus berkorelasi tinggi satu sama lain sehingga dapat dijadikan bukti bahwa semua aspek tersebut memang merupakan bagian dari suatu yang lebih umum/ luas itu. Jika tidak, maka sebenarnya kita tak boleh menjumlahkan begitu saja skor-skor yang dihasilkan, untuk kemudian dinamakan sebagai skor inteligensi atau skor pengetahuan sosial seseorang.
Syarat yang kedua ialah bahwa suatu tes harus memiliki sifat "kehandalan" dari suatu alat ukur. Istilah yang sering digunakan uiituk hal ini ialah "reliabilitas" dari skor sebuah tes. Kehandalan yang dimaksud disini meliputi ketepatan/kecermatan (precision) hasil pengukuran, dan keajegan/ kestabilan (consistency) dari hasil pengukuran. Kecermatan hasil pengukuran ditentukan oleh banyaknya informasi yang dihasilkan dan amat berkaitan dengan satuan ukuran dan jarak rentang (range) dari skala yang digunakan. Dalam mengukur berat sebuah cincin emas. pengukuran dengan timbangan yang bersatuan miligram dan berjarak rentang antara 0 – 1000 mg, tentu akan menghasilkan ukuran yang lebih teliti dari pada penggnnaan timbangan dengan satuan kilogram dan berjarak rentang 0 - 100 kg. Begitu pula halnya dengan tes prestasi belajar, tes inteligansi, tes bakat, dsb. Sebuah tes dengan jumlah soal yang cukup banyak dan seluruh soalnya bertaraf kesukaran "sedang" (on-target) bagi orang yang menempuh, tentu akan menghasilkan informasi yang lebih teliti mengenai orang yang diukur jika dibandingkan dengan tes yang soalnya sedikit dengan tingkat kesukaran yang "off-target". Dengan kata lain, soal-soal sebuah tes tidak boleh terlalu jauh di bawah atau di atas tingkat kemampuan intelektual orang yang akan mengerjakannya agar tingkat kecermatan hasil pengukuran dapat lebih tinggi. Dengan demikian, sebuah kisi-kisi tes yang menetapkan prosentase soal yang mudah, sedang dan sukar, pada prinsipnya adalah salah dan menyimpang dari teori tentang kehandalan hasil sebuah tes. Jika orang yang hendak di tes sangat hcterogin tingkat kemampuannya, maka menurut teori keterhandalan pengukuran, mereka harus dibagi menjadi beberapa kelompok yang relatif homogin, sehingga untuk setiap kelompok dapat disusun dan diberikan tes yang tingkat kesukarannya sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Secara teoretis, jika memungkinkan, maka hendaknya setiap individu hanya dihadapkan pada soal-soal yang tepat bagi tingkat kemampuan dirinya saja (individualized atau tailored testing). Dengan bantuan komputer dan bank soal yang soal-soalnya telah dikalibrasi, hal seperti ini dapat dimungkinkan dan memang telah dipraktekkan di beberapa tempat di Amerika, Eropa daratan, dan Australia.
Tentang syarat kestabilan/ keajegan (consistency) dari skor suatu tes, ada dua istilah yang perlu dikenal yaitu keajegan internal dan eksternal. Keajegan internal ialah tingkat sejauh mana butir-butir soal sebuah tes itu homogin baik dari segi tingkat kesukaran maupun dari segi bentuk soal/prosedur menjawabnya. Hal ini berkaitan erat dengan masalah kehormatan/presisi yang telah dibicarakan sebelumnya, di mana disyaratkan agar tingkat kesukaran semua soal yang ada dalam suatu tes sesuai dengan tingkal kemampuan orang yang akan di tes. Tingkat kehandalan skor tes dalam arti (1) homoginitas butir soal dan (2) kehandalan butir-butir soal tersebut dalam mengungkapkan perbedaan kemamnuan yang terdapat di kalangan siswa, dapat diukur dengan sebuah indeks yang dikenal dengan sebutan "indeks alpha dari Cronbach" (Cronbach Alpha). Khusus untuk tes tertulis yang jawabannya bersifat dichutomis (yaitu benar jika memilih kuncinya dan salah jika tidak), teknik perhitungan indeks alpha tersebut dapat disederhanakan sehingga lebih mudah dihitung. Penyederhanaan terhadap teknik perhitungan (rumus) alpha tersebut dikemukakan oleh dua orang yang bernama Kuder dan Richardson. Oleh sebab itu, salah satu rumus perhitungan indeks keterhandalan skor tes yang paling populer dikenal dengan sebutan KR—80, di mana huruf pertama dari nama kedua orang tersebut dicantumkan. Hal ini perlu dikemukakan karena setiap buku mengenai tes selalu membicarakan konsep reliabilitas dengan rumus keterhandalan skor tes yang disebut indeks KR—20 itu. Kuder dan Richardson bahkan mengajukan pula cara perhitungan yang lebih sederhanajika butir-butir soal yang ada dalam sebuah tes memang benar-benar homogin taraf kesukarannya. Rumus yang lebih sederhana tersebut dinamakan indeks KR—21.
Dalam hal keajegan yang bersifat eksternal, pokok permasalahannya ialah mengenai tingkat sejauh mana skor yang dihasilkan dari penyajian sebuah tes kepada sekelompok orang, akan tetap sama sepanjang kemampuan orang-orang yang diukur tersebut masih belum berubah. Cara pendekatannya ada dua. Pertama, dengan mcmbayangkan sekelompok orang menempuh sebuah tes berulang-ulang sampai tak terhingga kali banyaknya dengan asumsi bahwa (1) kcmampuan orang tersebut tak berubah, dan (2) orang tersebut tak akan mempelajari isi tes. Kedua, dengan membayangkan sekelompok orang menempuh perangkat-perangkat tes paralel yang tak terhingga banyaknya (diperlukan tes paralel karena disadari bahwa jika tesnya tetap sama maka orang tersebut akan mempelajari isi tes tersebut). Jika dari kedua pendekatan tersebut dapat dihasilkan skor ya.ng sama pada setiap pengukurannya, inaka berarti alat ukur (tes) tersebut adalali alat yang memenuhi syarat keajegan hasil ukuran seeara eksternal. Dalam prakteknya, kedua pendekatan tersebut tak dapat dilaksanakan. Biasanya cukup disajikan dua tes yang dianggap paralel atau sebuah tes disajikan dua kali saja. Jarang sekali ada yang sampai tiga kali atau lebih. Untuk menentukan apakah hasil yang diperoleh adalah sama, pun biasanya hanya dihitung dengan indeks statistika yang disebut korelasi, yang sebenarnya kurang memadai untuk dipakai sebagai indeks keajegan. Di dalam cara mendapatkan perangkai, paralel pun kadang-kadang orang ingin mudahnya saja. Bukannya menyusun perangkat baru yang paralel, tetapi cukup membagi saja tes yang akan diuji keajegannya itu menjadi dua buah sub-tes yang masing-masing jumlah soalnya hanya separuh dari tes semula. Korelasi antara skor dari masing-masing sub-tes tersebut kemudian dihitung dan dianggap sebagai indeks keajegan eksternal dari sebuah tes yang jumlah butir soalnya hanya separuh dari tes samula. Berdasarkan hasil perhitungan ini kemudian dilakukan penaksiran terhadap indeks keajegan eksternal dari tes yang sama seandainya jumlah soal tes tersebut dilipatkan dua.
Konsep lain yang perlu diketahui dalam teori tes ialah mengenai skala hasil pengukuran. Pengukuran yang terbaik ialah yang menghasilkan ukuran dengan "skala mutlak" (ratio scale). Artinya, angka nol yang dihasilkan benar-benar menunjukkan absensi (tidak adanyakuantitas) dari dimensi/aspek yang diukur, dan setiap angka hasil pengukuran merupakan rasio dari dua obyek pada suatu dimensi yang sama. Sebagai contoh, pada pengukuran jarak antara dua benda dengan menggunakan mistar yang ketelitiannya sampai sepersejuta milimeter, angka nol dapat ditafsirkan sebagai berimpitnya kedua benda tersebut. Coba bandingkan hal tersebut dengan pengukuran suhu yang menggunakan thermometer, di mana angka nol adalah didasarkan pada konvensi atau kesepakatan. Meskipun jarak antara empat dan enam Celcius adalah sama dengan antara delapan dan sepuluh Celcius, tetapi tidak dapat ditafsirkan bahwa delapan Celsius adalah dua kali lebih panas dari lima Celsius. Skala yang satuan ukurannya berjarak sama tetapi titik awal (nol) nya tidak miitlak seperti ini disebut skala interval.
Tes psikologi yang dimaksudkan untuk mengukur aspek inlelektual, umumnya hanya menghasilkan skor dalam skala interval tersebut. Itu pun jika semua butir soalnya benar-benar homogin baik dari segi isi materi, bentuk, maupun taraf kesukarannya. Biasanya, pada sebuah tes selalu terdapat variasi pada ketiga hal tersebut, sehingga skala yang dihasilkan tidak sepenuhnya bersifat (equi-) interval. Namun dalam praktek sehari-hari, orang menganggap skala, seperti itu sebagai skala interval. Hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan kesalahan dalam penafsiran iiasil tes serta dalam berbagai keputusan yang diambil berdasarkan hasil tes tersebut.
Jenis skala lain ialah skala ordinal. Dalam skala ini yang ada hanyalah informasi tentang tinggi rendahnya posisi obyek pada dimensi/ aspek yang diukur. Berapa tinggi dan herapa rendahnya tidak diketahui. Jadi informasi yang diperoleh hanyalah bersifat penjenjangan kasar (ranking) saja. Misalkan ada tiga siswa yang tinggi badannya berbeda, masirg-masing 173, 168 dan 145em Jika seorang guru yang belum mengetahui tinggi badan mereka, dimintai meranking, akan diperoleh ranking kesatu, dua, dan ketiga. Padahal jarak antara tinggi sibwa yang kesatu dan kedua sebenarnya amatlah berbeda dengan antara yang kedua dan ketiga. Dengan kata lain, skala angka 1, 2, dan 3 it" tidak berjarak sama(equiinterval). Hasil pengumpulan data melalui skala rating, dan skala sikap/ angket biaaanya dalam tingkatan skala ordinal ini. Jenis skala yang lair ialah skala nomiiial. Ei sini. skala atau angka yang dihasilkan hanya bersifat klasifikasi/ kategorisasi/ nominasi saja. Contohnya ialah jika ada delapan propinsi diberi kode dengan angka satu sampai delapan. Di sini angka yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan tingkat dalam suatu dimensi apa pun.
Masih banyak konsep-konsep penting yang berkenaan dengan teori tes yang harus diketahui oleh orang yang hendak mengembangkan tes ataupun yang hendak mengetahui apakah tes yang akan digunakannya cukup bermutu atau tidak. Namun dalam waktu yang singkat seperti ini tak mungkin diliput seluruhnya. Hal-hal tersebut dapat dibicarakan dalam kesempatan yang lain. Begitu pula halnya dengan pendalaman terhadap hal-hal yang telah dibicarakan pada kesempatan ini, seperti misalnya mengenai model-model matematis/statistis dari setiap konsep yang telah dibicarakan di muka.
Psikometri dan Penggunaan Tes
Tujuan penggunaan tes biasanya banyak sekali ragamnya, namun selalu berkenaan dengan satu hal, yaitu peiiggunaan skor tes untuk mengambil suatu keputusan. Dengan deinikian. sifat dasar dari perinasalaliannya adalah peramalan tentang tepat tidaknya kepntusan yang diambil berdasarkan hasil dari suatu tes tersebut. Dengan kata lain, skor tes yang dijadikan dasar pengambilan keputusan selalu nwrupakan variabel peramal (prediktor), sedangkan bervariasinya hasil yang timbul sebagai akibat dari diambilnya keputusan berdasarkan prediktor tprsebut adalah variabel akibat (dependent variable, atau kriterion). Dalam praktek, agar keputusan yang diambil dapat benar-benar berhasil, maka. variabel yang dija,dikan dasar pengambilan keputusan itu biasanya terdiri dari beberapa buah (misalnya skor dari beberapa tes ditambah dengan beberapa hal lain yang juga dijadikan dasar pertimbangan). Begitu pula halnya dengan variabel kriterion, biasanya terdiri dari hasil pengukuran terhadap berbagai jenis indikator keberhasilan/kegagalan dari keputusan yang telah diambil. Dalam situasi penggunaan tes seperti ini, metoda-metoda psikometri dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai dua jenis tujuan:
  • untuk mendapatkan persamaan matematis yang paling handal dalam meramalkan akibat dari suatu keputusan yang akan diambil berdasarkan skor dari satu atau sehimpunan tes. Jika persamaan ini dapat ditemukan berdasarkan penelusuran (eksplorasi) terhadap struktur hubungan antar variabel •yang ada pada data, maka keputusan-keputusan berdasarkan skor tes tersebut dapat disempurnakan.
  • untuk menguji apakah suatu model teoretis tentang cara penggunaan skor tes tertentu untuk tujuan tertentu yang selama ini mungkin telah sering dipakai adalah memang cukup handal dan dapat dipercaya.
Baik pada tujuan yang pertama maupun yang kedua, permasalahannya adalah sama, yaitu mengenai tingkat kesahihan (validitas) dari suatu keputusan yang telah diambil. Sehubungan dengan hal ini, khususnya pada masalah seleksi calon karyawan, mahasiswa, dsb, validitas keputusan yang pernah diambil sering kali dikaitkan dengan tes yang digunakan sehingga ukuran tentang validitas keputusan tersebut sering dinyatakan sebagai ukuran validitas dari tes tersebut dalam penggunaannya sebagai alat seleksi. Keputusan seleksi yang menghasilkan tingkat validitas yang tinggi biasanya didasarkan pada sehimpunan skor tes yang komposisi bobot peranan masing-masing tes terhadap keputusan yang diambil telah ditetapkan secara empirik melalui penggunaan metoda-metoda psikometri yang tepat. Upaya menemukan model persamaan seleksi yang tepat secara empirik ini disebut "selection modeling" dan dalam bentuk yang canggih biasanya menggunakan model statistik yang di dalam ilmu psikometri dikenal dengan nama "modeling dengan persamaan struktural"
Share:

Rabu, 31 Agustus 2016

Sejarah dan Perkembangan NLP



Sejarah NLP bermula ketika seorang profesor Linguistik sekaligus pakar psikologi bernama Dr. John Grinder bertemu dengan ahli matematika sekaligus ilmu komputer, Dr. Richard Bandler. Keduanya bertemu di University of Calipfornia Santa Cruz pada tahun 1970-an. Grinder dan Bandler terteraik menemukan rahasia yang dimiliki orang-orang efektif, seperti apa yang membuat mereka mampu mencapai hal-hal tertentu. Terutama, keduanya tertarik pada kemungkinan untuk dapat memodel atau "menduplikasi" prilaku yang dilakukan oleh orang-orang efektif tersebut.

Pertemuan seorang linguis dengan Matematikawan

Grinder sempat berkarie di militer Amerika Serikat. Keahliannya di bidang linguistik membawanya pada posisi sebagai intelejen AS. Di tahun 1960, Grinder memutuskan kembali ke universitasnya untuk memperdalam keahliannya di bidan linguistik meraih gelar Ph.D.

Ahli bahasa yang juga punya latar belakang psikologi ini banyak mempelajari ilmu kebahasaan seperti syntax dengan menggunakan dasar teori dari Noam Chomsky tentang Transformational Grammar, yakni sebuah ilmu yang berusaha untuk memahami bagaimana proses pengkodean dan pemberian makna dalam pikiran kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk bahasa. Proses ini dinamakan deep structure sedangkan hasilnya dalam bahasa disebut surface structure.

Grinder pun menjadi seorang pakar linguistik yang telah bertahu-tahun melakukan penelitian dan pengembangan terhadap transformational grammar. Ia juga terpilih menjadi asisten profesor linguistik di kampusnya. Disinilah Grinder bertemu dengan Bandler. Bersama dengan Bandler, keduanya menemukan bahwa masalah yang timbul dalam pikiran-perasaan seseorang sejatinya hanyalah proses transformasi yang tidak sempurna dari deep structure menjadi surface structure.

Keduanya tertarik mempelajari keahlian sejumlah pakar dan terapis yang teramat sukses dibidangnya, yaitu Fritz Perl dan Virginia Satir. Kedua terapis ini merupakan pakar yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk mengungkap deep structure kliennya sehingga bisa dengan mudah memahami permasalahan yang sebenarnya dialami kliennya. Bandler dan Grinder kemudian memodel kedua terapis tersebut untuk mempelajari keahlian mereka dalam memahami permasalahan kliennya.

Metode yang dipergunakan untuk mempelajari keahlian tersebut disebut Modeling alias  "mencontek". Tokoh pertama yang "dimodel" adalah Fritz Perls, seorang psikoterapis beraliran Gestalt. Perls terkenal dengan keahliannya membantu menyelesaikan masalah klien dalam waktu singkat. Bandler juga banyak menimba ilmu psikologi kepada Perls. Ia bahkan juga mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan oleh Perls.

Bandler memang berhasil mempelajari teknik-teknik ala Perls. namun, ia masuk menemukan kesulitan dalam hal menerjemahkan teknik tersebut ke dalam pola yang terstruktur dan mudah diajarkan pada banyak orang. 
Kesulitan yang dimiliki Bandler berhasil diatasi ketika ia bertemu dengan Grinder di satu kelas. Grinder yang ahli dalam mengenali pola kemudian diajak oleh Bandler untuk bekerjasama untuk menetuki keingintahuannya akan teknik modeling ini.

Mengembangkan Seperangkat Teknik Mental


Grinder dan Bandler kemudian melanjutkan observasinya pada Virginia Satir, seorang pakar terapi keluarga. Tak tanggung-tanggung, keduanya mendapatkan rekaman tentang apa yang dilakukan Satir ketika menangani kliennya. Bandler dan Grinder mempelajari rekaman tersebut dan berhasil menterjemahkan apa yang dilakukan oelh satir dengan menggunakan terminologi yang dikembangkan oleh keduanya. Dari apa yang mereka lakukan terhadap observasinya pada Satir, keduanya berhasil menyusun sebuah buku berjudul  Changing With Families.

Dari observasi tersebut, Bandler dan Grinder berhasil mengidentifikasi cara satir dalam melakukan Klarifikasi atas masalah yang dihadapi kliennya. Observasi ini menjadi titik awal dari Meta Model, salah satu pokok bahasan yang dipelajari dalam NLP sampai saat ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Yuliawan dalam bukunya, Meta model merupakan " sebuah teknik komunikasi yang menghendaki presisi sehingga membuat kita mampu memahami struktur yang berada di balik apa yang diucapkan oleh orang lain (content).


Selain itu, Bandler dan Grinder juga memperhatikan bahwa Satir berbicara dengan bahasa visual kepada kliennya yang bertipe visual, bahasa auditory untuk kliennya yang bertipe auditory dan bahasa kinesthetic untuk kliennya yang bertipe kinesthetic. Namun Satir sendiri tidak menyadari tentang pola komunikasi dengan klien nya tersebut.

Dari sini, Bandler dan Grinder kemudian semakin memusatkan perhatiannya pada aspek komunikasi dengan mempelajari kesempurnaan keterampilan berkomunikasi. Kesempurnaan ini ditampilkan oleh beberapa pakar yang terbukti mampu menyembuhkan klien yang tergolong "mustahil sembuh". Dengan pemodelan prilaku mereka , Bandler dan Grinder mampu melihat pola berpikir yang membantu dalam keberhasilan subjek. Keduanya berteori bahwa otak dapat mempelajari pola prilaku sehat dan hal ini akan membawa dampak fisik dan emosional positif. Hasil dari obeservasi-observasi ini di tulis dalam buku "The Structure of Magic, Vol. 1 (1975) dan The Structure of Magic Vol. 2 (1976). Buku-buku ini pada awalnya adalah untuk master thesis Bandler. Kedua buku inilah yang menjadi buku NLP pertama yang dipublikasikan.


Meta Model telah berhasil dirumuskan. Dalam upaya mengembangkan keingintahuan kedua nya tentang dunia modeling, Bandler dan Grinder banyak berguru pada seorang antropolog bernama Gregory Bateson. Dari gurunya inilah, keduanya mendapat saran untuk memodel Milton H. Erickson seorang psikiater dan hipnoterapis hebat yang tinggal di phoenix, Arizona, USA yang juga merupakan pimpinan American Society For Cinical Hypnosis.

Dari Sini, Bandler dan Grinder menemukan teknik NLP lainnya yang diberi nama Milton Model. Hasil dari Modeling yang dilakukan pada Erickson membuat keduanya menjadi Master of Hypnosis.  Keduanya kemudian juga menulis dan mempublikasikan buku atas hasil modelling ini dengan judul Pattern of the Hypnotic Techniques of Milton H erickson. MD, yang diterbitkan pada Tahun 1975 dan Volume keduanya diterbitkan 1977 bersama Judith Delozier.


Pattern of the Hypnotic Techniques of Milton H erickson. MD, Menjadi salah satu kontribusi utama dalam dunia Hipnosis. Untuk buku ini Erickson menulis, "Pattern of the Hypnotic Techniques of Milton H erickson. MD yang ditulis oleh Richard Bandler dan John Grinder adalah suatu penyederhanaan yang luar biasa atas sejumlah kompleksitas bahasa yang saya gunakan pada pasien. Sewaktu membaca buku ini, saya mempelajari sejumlah hal yang telah saya lakukan tanpa tahu tentang hal yang saya lakukan tersebut".

Setelah bertahun-tahun memodel, keduanya kemudian berhasil mengembangkan seperangkat teknik mental yang sangat berguna dalam dunia terapi. Penelitiann yang dilakukan secara intensif dan sistematis tersebut menggiring Bandler dan Grinder menemukan jawaban: Dalam meraih keberhasilannya, orang-orang sukses memiliki prilaku yang nyaris sama dalam hal strategi-strateginya. Kesemua strategi itu dapat ditiru atau dimodel oleh orang lain yang ingin juga sukes.

Berkat pengetahuan, temuan, dan dedikasinya yang luar tersebut , Grinder dan Bandler juga pernah mengerjakan sejumlah pekerjaan rahasia untuk CIA. Dengan menggunakan kekuatan unconcious, keduanya melatih anggota CIA yang rawan tertangkap agar terlatih sebagai spesialis CIA di Timur Tengah, di mana ia menggunakan keahliannya di bidan linguistik untuk mengumpulkan informasi rahasia dan Intelijen sensitif dari kalangan komunitas berbahasa Arab.


NLP Kekinian

Seiring berjalannya waktu, NLP sangat berkembang seiring dengan bergabungnya beberapa pakar seperti Leslie-Cameron Bandler, Judith Delozier, Robert Dilts, dan David Gordon dan beberapa tokoh lainya. Beberapa tokoh inilah yang membuat NLP menjadi semakin canggih dengan menggunakan "modeling"nya untuk mengeksplorasi ekselensi dari banyak orang. Para tokoh ini juga yang memperkaya teknik serta konsep NLP sehingga menjadi sebuah ilmu pengerahuan.

pada tahun 1980, Bandler dan Grinder memang berpisah haluan karena terlibat masalah hukum terkait kekayaan intelektual. Namun demikian, dengan jalan masing-masing keduanya tetap mengembangkan NLP. Grinder bersama Delozier menyusun pendekatan baru yang diberi Nama New Code NLP.  Sebagaimana ditulis oleh Yuliawan (2010), pendekatan ini menitikberatkan pada Pola Pikir sistemik antara tubuh dan pikiran.

Tak mau ketinggalan, Bandler juga menyusul dengan pemodelan terbaru mengenai submodalitas  dan Ericksonian hipnosis melalui bukunya Using Your Brain: For A Change di tahun 1984. Selain itu bandler juga berhasil mengembangkan NLP dengan mencetuskan Design Human Enginering (DHE)  .  Ilmu ini masih tergolong langka di dunia, karena penyebarannya masih relatif ditujukan untuk kalangan tertentu saja. Teknik-teknik yang ada di DHE sebenarnya tak jauh berbeda dengan teknik-teknik yang ada di NLP lainya. Hanya saja DHE punya keunikan yaitu mempunyai cara pandangnya yang sistemik dan generatif sehingga keluar dari batas-batas modeling standar.

Beberapa praktisi dan trainer lainpun tak ketinggalan memodifikasi, memberi nama dan mengembangkan variasi NLP, Michael Hall menawarkan NLP yang berfokus dengan apa yang disebutnya sebagai metas states  (melangkah ke masa lalu secara mental dan melihat diri sendiri melalui perspektif yang lebih luas). Sementara itu Ted James mengembangkan teknik Time Line theraphy yang meminta kliennya untuk melakukan visualisasi dan menciptakan suatu time line dari hidup mereka dengan tujuan memperbaiki time line tersebut. Belakangan Anthony Robbins bahkan membuat pengembangan NLP dengan melahirkan NAC, Neuro Associations Conditioning. Robins jugalah yang mempopulerkan NLP sehingga meluar di USA dan seluruh Dunia.



Ilmu modeling ini dikembangkan untuk memodel berbagai keunggulan manusia, antara lain untuk memodel keunggulan orang berprestasi unggul di bidan olahraga, kepemimpinan, pemasaran, pendidikan, bisnis, hiburan, meditasi, dan bebagai bidang lainnya. Sejauh ini, beberapa tokoh besar juga tercatat sukses lantaran menggunakan NLP. Beberapa diantara tokoh tersebut adalah Bill Clinton, Andre Agassi, Lady Di, Nelson Mandela, dan masih banyak tokoh lainnya.


Perkembangan NLP juga bisa dilihat dari banyaknya buku yang mendedah tentang NLP. Seiring dengan itu muncul pula jutaan praktisi NLP di seluruh Dunia. Perkembangan ini dimungkinkan karena sejak inisiasinya NLP memiliki arah yang jelas. Pertama, sebagai proses untuk mengugkap pola dan strategi mental para jenius dibidangnya masing-masing. Jika seseorang dapat mengungkap strategi mental jenis lainnya, terutama yang melibatkan pikiran bawah sadarnya atau unconscius mind, maka kita dapat meniru atau memodel dan melakukannya dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik.

Sebagai contohnya, jika kita bertanya kepada seorang pemain piano yang sangat piawai bagaimana ia melakukan permainan yang demikian mengagumkan, dalam banyak kasus orang tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Namun kita dapat melakukan pengamatan atau obsercasi ketika ia sedang bermain untuk mempelajari strategi mental dan apa yang berlangsung dalan unconscious mind nya ketika ia sedang memainkan suatu simfoni yang indah. Dengan demikian, kita akan dapat mengungkap banyak informasi yang tidak mungkin diberikannya secara conscious. Kedua untuk membangun keterampilan berkomunikasi, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Itulah yang membuat NLP tetap diminati hingga saat ini.

Kini NLP tidak hanyak dipakai untuk keperluan terapis, melainkan meluas pada berbagai disiplin di berbagai negara dunia. Aplikasinya beragam mulai dari menghentikan kebiasaaan buruk hingga menguasai gerakan senam, mulai dari rekrutmen pramugari, sampai pelatihan sniper. Dalam perkembangannya, para pelopor NLP mulai mengibarkan sayapnya dengan merambah dunia diluar terapi, namun juga segmen lainnya seperti bisnis, manajemen, keluarga, pendidikan dan olah raga.










Share:

Kamis, 18 Agustus 2016

NLP dan Teknik Psikologi Lainnya


Hingga saat ini, masih ada banyak orang yang mempertanyakan perbedaan antara NLP dengan teknik-teknik psikologi lainnya. Yuliawan dalam bukunya Neuro-Linguistic Programming : The Art of Enjoying Life (2010 : 11) berpendapat bahwa NLP merupakan seni dari ilmu psikologi. Namun demikian Yuliawan menjabarkan bahwa setidaknya terdapat lima hal yang membuat NLP istimewa dan berbda dengan teknik-teknik psikologi lainnya.

Lima perbedaan Yang Dimaksud adalah :


Menyadari bahwa setiap orang mempunyai bekal sumber daya yang dibutuhkan untuk menjadi pribadi yang efektif, NLP pun hanya akan memodel orang-orang yang berkualitas. Proses modeling inilah yang menjadikan NLP mempunyai konsep terbaik sekaligus aplikatif.  " sesuatu yang indah namun tidak praktis akan dibuang, begitu pun ia yang praktis namun tidak berdasar akan di singkirkan jauh-jauh."  tulis yuliawan.

NLP juga menerapkan hukum keefektifan bukanlah harga mati. Sebab sebagaimana yang diasumsikan oleh NLP, hingga saat ini masih ada banyak orang yang tidak mampu menjalani kehidupan efektif hanya karena mereka tidak tahu strategi menjalankannya, bukan karena tidak punya sumber daya yang dibutuhkan. Dengan menerapkan strategi yang tepat, secara otomatis orang pun akan menjalani kehidupan dengan efektif. Sebagaimana dikatakan yuliawan,  " ajari mereka strategi yang benar dan mereka akan menjadi efektif pula". 



Kita tahu bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Hanya saja, kita masih sering menggunakan sudut pandang yang keliru dalam memandang masalah yang sedang kita hadapi. Nah bagaimana cara kita memandang satu masalah akan mempengaruhi bagaimana solusi yang akan kita terapkan. Tak jarang, bukannya menyelesaikan masalah, solusi yang kita ambil justri membuat masalah menjadi semakin parah dari hari ke hari.

Dalam situasi seperti inilah NLP akan memerankan peranannya. NLP mengajak kita utuk melihat masalah dari sudut pandang yang tepat, sudut pandang yang lebih tinggi sehingga memudahkan kita dalam menemukan dan merumuskan pemecahan masalah. Sebab ternyata ada banyak hal yang kita anggap sebagai masalah, padahal sebenarnya hanya merupakan gejala dari timbulnya masalah.  " Betapa banyak hal yang kita anggap sebagai masalah sebenarnya hanyalah simtom dari permasalahan yang sebenarnya," Ujar Yuliawan.

3. NLP Mempunyai Cara yang Lebih Sistematis untuk Memambantu Kita berubah.

NLP tidak hanya berkutat dalam ranah perilaku manusia. Melalui proses modelling, NLP juga merambah ranah kemampuan, keyakinan, nilai-bilai, identitas dan tujuan yang lebih tinggi kemudian menjabarkannya dalam langkah-langkah yang terstruktur. hal ini akan mempermudah para praktisi dalam melakukan teknik modeling.

4. NLP Dikenal Sebagai sebuah Pendekatan yang Menawarkan Hasil Akhir dengan relatif Cepat.

Salah satu keistimewaan yang dimiliki NLP adalah melalui teknik-tekniknya, NLP mampu menyelesaikan berbagai problematika yang dialami si klien dalam waktu yang relatif singkat. " Teknik seperti fast fobia cure (fast Fobia cure) misalnya mampu membuat mereka yang telah lama berkecimpung dalam dunia terapi berdecak agum karena sanggup membantu penyembuhan seorang yang mengalami Fobia menahun hanya dalam hitungan menit saja."


5. Pada Proses Intervensinya, NLP berfokus pada Struktur dari Pengalaman dan Bukan pada Isinya (content)


NLP berbeda dengan teknik psikologi lainnya yang berusaha menggali pengalaman dan memunculkannya secara sadar, karena dalam menangani kliennya NLP justru menyentuh struktur yang membentuk pengalaman si klien. Daripada meminta Klien menceritakan kembali pengalaman traumatik yang dialaminya, NLP memilih untuk mengajak kliennya mencermati bagaimana persisnya pengalaman itu digambarkan dalam pikiran dan perasaan si klien.


Itulah lima hal yang membedakan NLP dengan teknik-teknik psikologi lainnya yang sudah berkembang bahkan jauh sebelum NLP muncul hingga saat ini. Karena kelima keistemewaannya inilah NLP mampu menyita perhatian banyak kalangan, termasuk dunia psikologi. Kehadirannya bahkan diakui telah banyak membantu perkembangan dunia psikologi. Banyak teknik-teknik dalam NLP yang diaplikasikan untuk membantu penyembuhan klien "sakit" dengan mudah dan cepat, yang jika disembuhkan dengan teknik psikologi lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama.



sumber :


Share:

Senin, 15 Agustus 2016

FROGS INTO PRINCES, Richard Bandler

Dalam dunia NLP mendengar buku FROGS INTO PRINCES, Richard Bandler mungkin sudah tidak asing lagi.
Namun masih banyak dari kita yang belum memiliki buku maha karya Richard Bandler ini.
Buat rekan-rekan yang ingin memiliki

silahkan download
cara cepat hamil



























Sandier, Richard.
Frogs into princes.
"Edited entirely from audiotapes of introductory
NLP training workshops conducted by Richard Bandler
and John Grinder."
Bibliography: p.
1. Psychotherapy. 2. Nonverbal communication.
3. Psycholinguistics. 4. Imagery (Psychology)
I. Grinder, John, joint author. II. Title
Share:

Mengenali Neuro Linguistic Programming (NLP)



Ada banyak defenisi mengenai Neuro linguistic Programming  atau yang disingkat atau yang disingkat dengan NLP. Beberapa ahli pun telah memaknai NLP dengan bermacam arti, merujuk pada latar belakang, cara kerja, hingga peranannya. John Grinder, misalnya, salah satu penggagas NLP mengartikan NLP sebagai sebuah strategi belajar. Bukan sekedar strategi belajar biasa, Grinder memaknainya sebagai strategi belajar yang dipercepat (accelerate learning strategy). Strategi ini digunakan untuk "mendeteksi dan memanfaatkan pola-pola yang ada didunia" ujurnya.

Rekan seperguruan Grinder yang juga menjadi pelopor NLP, Ricard Bandler, memaknai NLP sebagai sebuah sikap mental dan metologi. Hampir mirip dengan yang diungkapkan Grinder, menurut Bandler metodologi dalam NLP berfungsi untuk menjalankan segala teknik yang cepat dan tepat guna atau sering dibahasakan dengan kata "efektif". Tuturnya "NLP adalah sebuat sikap mental dan metodologi yang ada di balik segenap teknik yang efektif".

Lain dua tokoh tersebut, lain pula dengan robert Dilts. Terapis yang sangat produktif menghasilkan karya modeling NLP ini berani memaknai NLP dengan lebih sederhana, namun tetap mengena. Menurutnya, "NLP adalah apapun yang bisa menghadirkan kesuksesan". Defenisi yang terakhir ini tentu membuat NLP nampak begitu menggiurkan dan menjanjikan, yang sedikit banyak mampu memantik orang untuk menilik sekali lagi apa itu NLP.

" Benarkah apa yang dijanjikan Dilts? Bagaimana bisa NLP mampu membawa hadiah berharga berupa kesuksesan?. Jika memang benar, apa sich sebenarnya NLP itu ?. " Mungkin tiga pertanyaan itulah yang sekilas akan muncul dalam benak banyak orang ketika pertama kali mendengar pernyataan Dilts. Tentu saja, Kita juga berharap bahwa kesuksesan yang dimaksud Dilts tidaklah terbatas pada sukses karier, melainkan sukses dalam arti luas melingkupi sukses dalam ranah keluarga, sosial, juga karier. Sebab, kita mengakui bahwa setiap manusia juga memimpikan sebuah kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Setiap manusia juga memimpikan sebuah bangunan keluarga damai, hubungan sosial yang harmonis serta perjalanan karier yang gemilang.

Apakah harapan yang diberikan Dilts benar-benar bisa diwujudkan?

Berorientasi pada PERUBAHAN.

Teddy prasetya yliawan, pendiri Indonesia NLP Society dalam bukunya Neuro Linguistic Programming. The Art of Enjoying Lifw (2010) menjelaskan bahwa NLP berkutat pada perubahan. Menurutnya, jika dirunut dari akar bahasanya - Neuro Linguistic Programming - Perubahan tersebut dapat kita lakukan dengan cara melakukan "intervensi" atau "programming" terhadap program yang sudah ada di dalam pikiran kita (neuron) dengan menggunakan media bahasa (linguistic).

Yuliawan sengaja menggunakan kata "intervensi" dengan alasan bahwa NLP berasumsi setiap manusia sebenarnya telah memiliki program dalam diri masing-masing. Program itu bisa didapatkan dari keturunan (faktor genetik) ataupun proses belajar selama hidup. Nah, " aktivitas NLP dalam hal ini adalah menyesuaikan atau mengubah program tersebut sehingga menjadikan sang empunya lebih efektif sebagai individu ", tulis Yuliawan.

Sejalan dengan Yuliawan, Totok PDy, Co-Founder dari Neo NLP Society yang juga seorang master trainer di pelatihan tersebut dalam bukunya berjudul Buku Saku NLP: Neuro Linguistic Programming  (2013: 39) sepakat bahwa inti dari NLP adalah perubahan. Hanya sajaPDy menegaskan bahwa bukannya hadir untuk mengubah kehidupan kita, NLP hanya berperan sebagai tameng kita dalam menghadapi bermacam perubahan yang ada dan pasti dialami manusia.

Sebab meskipun kita sudah tahu bahwa perubahan merupakan sebuah kepastian, kita masih saja sering gagap menghadapinya. Inilah mengapa, menurut PDy, kita harus membekali diri dengan tameng supaya tidak gagap menghadapi segala perubahan kondiri yang tidak kita inginkan. "Menariknya adalah meski fenomena perubahan kehidupan ini sudah cukup sering mewarnai kehidupan kita, namun kita seringkali dibuat puyeng jika dihadapkan oleh perubahan perilaku seperti yang kita inginkan," tulis PDy.

Namun demikian, perlu diingat bahwa NLP hanya bisa membantu kita menciptakan perubahan efektif jika kita meyakini betul bahwa sebenarnya diri kita sendiri yang berperan sebagai pengontrol segala kondisi yang kita miliki. Perubahan tidak diciptakan oleh seorang terapis atau praktisi, melainkan oleh kita atau klien sendiri. Dengan kata lain, setiap perubahan yang terjadi merupakan buah dari usaha kita sendiri. Dengan kata lain setiap perubahan yang terjadi merupakann buah dari usaha si klien.

Tanpa keyakinan tersebut, perubahan sekecil apapun mustahil dapat diciptakan. Sebagaimana dinyatakan oleh Wiwoho, pendiri IndoNLP dalam Understanding NLP dan NLP in Action, ia menggaris bawahi bahwa "sebenarnya tugas seorang praktisi NLP adalah menemukan apa yang menyebabkan seseorang terbelenggu dalam batasan-batasannya sendiri dan membantu membuka belenggunya, mungkin satu persatu atau adakalanya sekaligus, dengan partisipasi aktif dan kreatif dari orang tersebut".

Erickson (dalam wiwoho, 2008) juga meyakini pernyataan serupa. Segala perubahan yang dicapai si klien tak lain merupakan buah dari usaha si klien itu sendiri. " Erickson juga memiliki keyakinan bahwa bila kliennya dapat melakukan perubahan, kredit poinnya seharusnya diberikan kepada kliennya. Peran terapis hanya membantu mengarahkan pada kondisi yang tepat, dan dari situ klien dapat mempelajari sesuatu, dan melakukan perubahan. Setiap perubahan yang terjadi adalah upaya si klien sendiri.

Dalam praktiknya, terapis NLP akan menganalisa setiap kata dan frase yang kita gunakan dalam menjelaskan gejala-gejala kita atau kekhwatiran tentang kondisi yang kita alami. Terapis akan memeriksa ekspresi wajah dan gerakan tubuh kliennya. Setelah menentukan masalah dalam persepsi klien, terapis akan membantu kliennya memahami akar pernyabab masalah dan membantu kliennya merombak pikiran dan asosiasi mental untuk memperbaiki praduga kliennya. Praduga ini juga bisa menjaga kliennya mencapai keberhasilan yang selayaknya.

Dalam upaya mencapai perubahan yang diinginkan, pikiran menjadi fokus utama dalam kajian NLP. Mengapa demikian?. Sebab NLP mempunyai asumsi bahwa proses fisiologis dan emosi merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dan, pikiranlah yang menjadi pusat sistem kerja tubuh dan perasaan tersebut. Sebagaimana ditulis lebih lanjut oleh yuliawan,  " Kita memang bisa mengubah kondisi emosi dengan melakukan gerakan tubuh (fisiologis) sesuai keinginan kita, namun jika pikiran belum mau tunduk, maka hampir pasti perubahan tersebut tidak akan bertahan lama".

Sementara itu, untuk mencapai perubahan yang diinginkan, bahasalah yang menjadi media paling dominan. Dalam NLP, bahasa atau kata-kata mempunyai makna istimewa dalam upaya mencapai perubahan kondisi seseorang. Alasannya, ada hubungan istimewa, hubungan yang amat erat antara saraf dengan bahasa atau kata-kata. Setiap kata yang diserap otak akan memunculkan respon pada saraf. Kecuali kata tersebut merupakan kata baru atau asing bagi sipendengar.

Karena hubungan yang tak terpisahkan ini pula, menurut yuliawan, menjadi salah satu alasan mengapa Neuro Linguistik tidak di tulis secara terpisah. Neuro-Linguistic disambungkan dengan tanda hubung (-) yang juga mencerminkan keeratan hubungan keduanya yang tak terpisahkan.


Dirunut dari pembentukan katanya, NLP terdiri dari tiga kata yaitu, Neuro , Linguistik , dan Programming. Pengambilan ketiga istilah ini tidak diambil secara asal, melainkan mencerminkan atau merangkul ketiga elemen yang terlibat dalam membentuk perubahan efektif yang diinginkan oleh setiap individu. NLP mendasarkan teknik-tekniknya pada fakta bahwa saraf memegang peran sentral bagi seorang dalam menyerap pengalaman. Saraf dan berikutnya otak memaknai pengalaman yang kita serap dan menggerakkan tubuh sesuai makna atas pengalaman itu. Dengan kata lain, otak dan saraflah yang sesungguhnya mengalami sesuatu. Itulah yang mendasari pemilihan kata Neuro.

Dengan Linguistic, NLP menunjukkan bahwa neuro atau saraf dapat dipengaruhi oleh bahasa atau kata-kata dalam menafsirkan suatu pengalaman. Kata tertentu dapat mempengaruhi otak agar memberi makna tertentu terhadap suatu pengalaman. Sebaliknya, otak akan memberikan makna yang berbeda atas pengalaman yang sama jika di rangsang dengan kata yang berbeda pula.

Adapun pemilihan kata programming bermula dari keyakinan bahwa dalam diri manusia, kita telah mempunyai banyak simpanan program. Bentuk dari program-program ini mewujud berupa perilaku, kemampuan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain. Layaknya program-program yang ada dalam komputer, program-program yang ada dalam diri kita pun bisa di-install, unistall, recode, dan bahkan reinstall. Misalnya saja, ketika kita memiliki informasi yang sudah usang, kita bisa langsung meng-update pikiran kita dengan informasi yang baru. Kita bisa langsung menginstal ulang kemampuan kita dengan kemampuan baru yang kita inginkan dan kita butuhkan.

Dengan programming, NLP memberi kesempatan kepada kita untuk mengambil kendali atas cara kerja otak dan saraf dalam menafsirkan pengalaman melalui pengaturan rangsang bahasa atau kata-kata. Itulah mengapa, programming menjadikan kita sebagai tuan atas diri kita sendiri. Kita tahu apa yang kita butuhkan dan kita inginkan, kemudian dengan sendiri kita akan memenuhi kebutuhan tersebut. Kita pun bisa mengubah berbagai perilaku, kemampuan, keyakinan, nilai-nilai dan lainnya sesuai dengan yang kita butuhkan. Itulah yang menjadi salah satu yang menjadi ajaran utama dari NLP. " Dengan kata lain, berbagai perilaku, kemampuan, keyakinan, nilai-nilai dan lainnya yang kita miliki bisa kita ubah sesuai dengan manfaat yang diberikan kepada kita, " tulis yuliawan lebih lanjut.

Hal itu senada dengan apa yang dinyatakan Bandler bahwa otak kita tidak didesain untuk memperoleh sesuatu, namun bisa menunjukkan kita ke jalan yang kita inginkan. Semua perilaku atau kondisi yang kita punya dikendalikan oleh otak. Nah, apabila kita tahu cara kerja otak, kitapun bisa dengan mudah merancang arah yang kita tuju. Sebaliknya, jika kita tidak tahu cara kerja otak, maka ia akan seperti benda asing di dalam diri kita. Di sinilah peranan NLP berkiprah. NLP berusaha membebaskan otak kita, membantu supaya semua "data" yang ada di otak bisa terorganisis dengan baik. " Brains aren't designed to get result; they go in direnctions. If you know how the brain works you can set your own direction. If you don't, then someone else will".



NLP Memprogram pikiran agara seseorang berkembang dan Sukses


Dari uraian mengenai NeuroLinguistic, dan programming, mungkin kita sudah bisa menarik makna dari NLP secara garis besar bahwa neuro mengacu pada peran sel-sel saraf otak dan fungsinya dalam menerima stimulus berupa informasi dari luar. Linguistic, terkait dengan peran bahasa sebagai media utama komunikasi dengan diri sendiri (intra-comunication) dan orang lain atau (inter-communication). Sedangkan Programming menyangkut soal perilaku yang terpola.

Jika demikian, apabila bahasa merupakan media yang berguna untuk mengontruksi pengetahuan atau informasi dan pengembangan diri, maka NLP - berikut peran bahasa - bisa dimaknai sebagai seperangkat alat untuk mengonstruksi atau memprogram pikiran agar seseorang bisa berkembang dan sukses.

Sampai disini, sudahkah kita bisa menemukan sedikit harapan yang diberikan oleh Dilts?


Sumber : 







Share:

MEMBENTUK KARAKTER ANAK dengan 3S

SEBAGAI UPAYA AWAL MEMBENTUK KARAKTER ANAK
YANG ANTI KEKERASAN
Nailul Fauziah
Endang Sri Indrawati
Fakultas Psikologi - Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, S.H. Tembalang Semarang
nailul_f@yahoo.com


Semua orang menginginkan dan membutuhkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Komunikasi dapat diawali dari suatu sapaan,senyuman dan ucapan salam sehingga menciptakan good rapport tahap awal terbentuknya komunikasi dengan orang lain. Pengantar pesan bahagia (happy messengers) di otak kita akan bekerja, jika menerima stimulus membahagiakan seperti senyuman dan sapaan. Keluarga disini sebagai mediator awal pembentuk karakter seseorang. Orang tua adalah guru pertama anak, keluarga adalah sekolah pertama anak, sebagai tempat penanaman nilai-nilai positif yang kelak akan terbawa hingga dewasa. Berawal dari proses pembiasaan (conditioning), anak diajarkan untuk menyapa ketika bertemu seseorang, bersalaman dengan tersenyum. Reaksi positif dari orang lain menjadikan anak akan mempertahankan perilaku tersebut, hingga akan selalu dilakukan ketika anak bertemu dengan siapa saja. Teori Thorndike, the law of effect berlaku disini, bahwa ketika reaksi dari orang lain positif sebagai reward tersendiri, maka perilaku tersebut akan cenderung diulangi. Orang tua akan kembali menambahkan nilai bahwa dengan tersenyum dengan orang lain, maka berarti kita adalah seorang yang ramah, punya tata karama, tepa slira dengan orang lain, maka konsep diri pun terbentuk bahwa dirinya adalah anak yang ramah dan mengerti tata krama dalam budaya Jawa. Karakter tersebut akan terbawa hingga dewasa, dan akan diaplikasikan ketika dia menghadapi suatu permasalahan. Budaya Jawa mengajarkan “kena iwake ora buthek banyune” dapat tercipta dari penanaman perilaku yang simpel yaitu ramah terhadap orang lain. Masalah tetap dapat terselesaikan namun hubungan baik juga tetap dapat dipertahankan. Tidak mengedepankan kekerasan ketika menyelesaikan suatu masalah. Karakter ramah dan anti kekerasan mempunyai manfaat ketika seseorang terjun ke dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat kelak.


Kata Kunci : Senyum, sapa, salam dan anti kekerasan


Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Cara manusia berhubungan dengan orang lain disebut komunikasi. komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi Mencakup Dimensi Isi Dan Hubungan. Dimensi isi mengurai masalah isi pesan yang ingin disampaikan, sedangkan dimensi hubungan memiliki makna yang lebih jauh lagi, seseorang berkomunikasi dengan orang lain bukan hanya agar pesan tersampaikan, namun juga membina hubungan baik dengan orang lain.

Permasalahan sering muncul dalam komunikasi, dan yang paling sulit untuk diselesaikan adalah menyangkut dimensi hubungan. Semua orang ingin membina hubungan baik dengan orang lain dan berlangsung lama. Pepatah mengatakan memiliki satu orang musuh terlalu banyak, dan memiliki seribu teman masih terlalu sedikit. Pepatah ini memiliki makna agar kita sebanyak mungkin dapat membina hubungan baik dengan orang lain.

Kemampuan berkomunikasi juga merupakan satu karakteristik utama yang dimiliki oleh seseorang yang berhasil. Oleh karena itu dalam berbagai bidang pekerjaan dan pergaulan, kemampuan berkomunikasi, terutama sampai membina hubungan baik dengan orang lain, sangat penting diajarkan sedini mungkin pada setiap orang.

Sapaan merupakan bentuk komunikasi awal kita dengan orang lain. Lebih komplit lagi ketika kita mengucapkan salam, sapaan dan sambil tersenyum, hal yang nampaknya sepele, namun mempunyai dampak yang luar biasa. perbuatan tersebut mampu menyembuhkan kekesalan, kegundahan, dan bahkan kesedihan.

Otak manusia mempunyai pengantar pesan sedih (sad messengers) dan pengantar pesan bahagia (happy messengers). Bila dalam keadaan tertekan dan sedih, otak akan menerima pesan sedih. Sebaliknya dalam keadaan senang dan gembira, otak akan menerima pesan bahagia. Pesan bahagia ini ada tiga macam yaitu serotinin, norodrenalin, dan doparmine. Serotinin dalam otak mengatur jam biologis kita agar bekerja sebagaimana mestinya. Serotininlah yang membuat kita tertidur pada jam tidur. Pesan bahagia “serotinin” membuat kita dapat tidur dengan nyenyak. Sebaliknya kondisi tertekan membuat kita tidak dapat tidur, sehingga serotinin tidak bekerja sebagaimana mestinya. Norodrenalin membuat tubuh merasa segar. Norodrenalin bekerja ketika pikiran kita membayangkan hal-hal yang membahagiakan, sehingga membuat kita bersemangat. Dopamine bekerja untuk membuat kita menikmati hidup dan mengurangi rasa sakit. Dopamine sering disebut sebagai pembunuh alami rasa sakit “natural pain killer”. Itulah alasan mengapa hanya seulas senyum, sapaan dan salam bisa menyembuhkan kekesalan, kegundahan, dan bahkan kesedihan (Setiawan, 2010).
Dalam kajian psikologipun, khususnya dalam kajian psikoterapi kita mengenal ”rapport”, makna rapport akan mempengaruhi hubungan klien-terapis selanjutnya. Ketika kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Ketika rapport yang dibina pada awal pertemuan klien dengan terapis bagus, maka kemungkinan besar hubungan akan berjalan lancar, dan sebaliknya, ketika terapis tidak mampu membuat rapport yang baik dengan klien, dapat dipastikan proses terapi mengalami hambatan untuk langgeng. Senyum, sapa dan salam merupakan salah satu bentuk ”good rapport” yang mudah dan penting untuk dilakukan.


Keterampilan berkomunikasi, khususnya mampu membina hubungan baik dengan orang lain, penting untuk dibentuk sedini mungkin. Karena makna dan implikasinya bisa bermanfaat dan terbawa hingga dewasa, membangun kepribadian yang positif terhadap orang lain dalam menyelesaikan permasalahan yang akan dihadapi kelak.

Keterampilan untuk selalu mengucapakan senyum, sapa dan salam, kemudian berlanjut membentuk hubungan yang langgeng dengan orang lain, orang lain pun akan memberikan judge pada kita bahwa kita adalah seorang yang ramah dan suka berteman dengan siapa saja, mempengaruhi konsep diri kita menjadi konsep diri yang positif, yang pada akhirnya membentuk kepribadian kita menjadi pribadi yang suka berteman dan tidak menyukai kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan, karena telah tertanam bahwa berteman sangat penting dalam kehidupan.

Budaya timur yang kita anut, sangat mengedepankan perdamaian dalam segala bidang, anti kekerasan, sedapat mungkin lebih mementingkan mempertahankan hubungan daripada isi suatu komunikasi. Tidak menyukai permusuhan. Nilai yang bisa kita ambil maknanya adalah ”kena iwake ora buthek banyune”, permasalahan dapat terselesaikan, namun hubungan tetap terjaga dengan baik. Ketika terjadi perselisihan, nilai perdamaian yang kita utamakan, jalan tengah atau win-win solution yang kita ambil. Ada dua cara mendamaikan dua kelompok yang berselisih, yaitu kesepakatan damai kedua belah pihak dan menghadapi musuh yang sama. Budaya timur lebih mengedepankan mengadakan kesepakatan damai. Hal tersebut berarti makna hubungan lebih dikedepankan ketimbang isi.

Kajian mengenai bagaimana perjalanan dari sebuah senyum, sapa dan salam dapat membentuk suatu kepribadian yang anti kekerasan, itulah yang akan kita ulas disini.

MEKANISME PEMBENTUKAN KARAKTER

1. Unsur dalam Pembentukan Karakter

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip (Byrne, 2007).

Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif (Gunawan, 2005).

Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra s\ebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.

Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar.

Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang merasa depresi karena setelah mendengar dan melihat berita tersebut, dia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang seperti berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil penalaran di pikiran sadar adalah kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan seperti pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan kesan berbeda dengan menambahkan contoh kalimat berikut ini, “...tapi aku punya banyak relasi orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan sehingga kesan ini dapat memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya diri.

Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.

Pikiran merupakan tempat mengelola berbagai informasi yang kita peroleh melalui panca indera kita, pemberian maknanya dilakukan di pikiran (persepsi), yang pada akhirnya akan mengambil sebuah kesimpulan tentang berbagai pengalaman yang diperoleh. Pikiran yang akan mengelola dan mengendalikan, apa yang akan kita lakukan dari kesimpulan-kesimpulan yang kita buat.


2. Proses Pembentukan Karakter

Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang damai dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan bahagia dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.

Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini adalah “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.

Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Orang tua adalah guru pertama anak dan rumah (keluarga) adalah sekolah anak. Pondasi tersebut adalah kepercayaan (basic trust) dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.

Kemudian ketika orang tua mengajarkan kita untuk menyapa, tersenyum dan mengucapkan salam kepada orang lain, maka orang lain akan bereaksi dan merespon positif pada perilaku kita. Maka hukum the law of effect teori Thorndike pun berlaku, ketika kita melakukan sesuatu dan mendapat reward atau respon positif dari orang lain, kita akan cenderung mengulangi perilaku tersebut. Reward atau respon positif dari orang lain dapat berupa senyuman kembali, dapat pula berupa pujian bahwa dia anak yang ramah, suka menyapa, pandai bergaul. Maka konsep diri seorang anak pun mulai terbentuk (Irawan, 2000).

Makna konsep diri adalah bagaimana seseorang memandang diri mereka berdasarkan pendapat orang lain tentang diri kita. Beberapa ahli merumuskan definisi konsep diri, menurut Burns (1993) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2000).

Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Dari konsep diri yang positif, semakin menguatkan suatu perilaku tersebut, sampai pada menjadi suatu kebiasaan (conditioning). Perilaku yang berulang dan berulang, akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang tertanam pada anak, dan akhirnya menjadi suatu karakter. Karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu (Singh, 2000).

Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.

Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.

Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.

Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.

Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah berawal dari pikiran, pikiran alam bawah sadar ketika masih kecil mempengaruhi bagaimana kita berperilaku dewasa nantinya. Segala hal yang diajarkan orang tua akan kita rekam dalam memori jangka panjang, yang akan menciptakan basic trust (kepercayaan diri) sebagai pondasi seseorang berperilaku. Kemudian reaksi atau respon atas perilaku anak, akan menciptakan konsep diri tertentu pada anak yang juga terus menerus berkembang dan setiap orang menginginkan memiliki konsep diri yang positif, disini pikiran sadar yang berperan. Pembiasaan dari orang tua, serta pembentukan konsep diri yang positif pada seseorang makin menguatkan suatu perilaku yang dilakukannya hingga menjadi suatu kebiasaan ( kembali alam bawah sadar yang berperan) yang pada akhirnya membentuk suatu karakter tertentu pada diri seseorang tersebut.

3. Karakter Anti Kekerasan

Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam konteks sempit, yang biasanya berkaitan dengan perang, pembunuhan, atau kekacauan, padahal kekerasan itu bentuknya bermacam-macam. Fenomena yang dapat dikategorikan dalam kekerasan yang seperti ini banyak sekali jumlahnya. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Thomas Santoso, 2002:11). Adanya berbagai perbedaan kategori dan bentuk kekerasan membutuhkan berbagai macam klasifikasi yang spesifik, bebas dari bias, dan jauh dari kelemahan kelemahan. Pembedaan atas bentuk-bentuk kekerasan yang analitis, tidak parsial, dan teliti harus memenuhi dua kriteria utama, yaitu objektivitas (objectivity) dan kelengkapan yang mendalam (exhaustivity).

Ada empat jenis kekerasan yang pokok yang memenuhi dua kriteria tersebut (Salmi, 2005:32), yakni: kekerasan langsung (direct violence), kekerasan tidak langsung (indirect violence), kekerasan represif (repressive violence), dan kekerasan alienatif (alienating violence). Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak lain (orang, masyarakat, institusi) yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya atau intelektual (rights to emotional, cultural, or intellectual growth).

Secara sederhana, tindak kekerasan diartikan sebagai setiap perilaku seseorang yang dapat menyebabkan perasaan atau tubuh (fisik) orang lain menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik yang tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni: (1) kekerasan fisik, (2) kekerasan mental, dan (3) kekerasan seksual. Sebagai gejala sosial budaya, tindak kekerasan terhadap anak tidak muncul begitu saja dalam situasi yang kosong atau netral.

Menurut Lickona (1991), secara umum, nilai-nilai moral yang ditanamkan untuk mencegah berperilaku kekerasan dapat meliputi banyak hal, yaitu:

1. Sikap respect (menghargai) dan responsibility (tanggung jawab)
2. Kerjasama, suka menolong
3. Keteguhan hati, komitmen
4. Kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati, suka menolong
5. Kejujuran, integritas
6. Berani, kerja keras, mandiri, sabar, percaya diri, banyak akal, inovasi
7. Rasa bangga, ketekunan
8. Toleransi, kepedulian

Berdasarkan makna kekerasan yang luas inilah, maka penting untuk dilakukan pencegahan sedini mungkin menjadi individu yang anti kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, karena ruang lingkup makna kekerasan bukan hanya fisik namun juga mental. Kata kunci senyum, sapa dan salam sebagai pintu pembuka sebuah komunikasi dapat diterapkan dan diajarkan sedini mungkin, hingga mendapat reaksi positif dari orang sekelilingnya yang akan berpengaruh dalam pembentukan konsep diri anak sebagi anak yang ramah, respect (menghargai) orang lain, peduli, bahkan empati terhadap orang lain. Penilaian ini yang pada akhirnya menjadi suatu konsep diri yang menjadi nilai moral seseorang dalam berperilaku. Penguatan-penguatan yang diterima seseorang karena perbuatannya yang positif menjadikan perilaku tersebut terus dilakukan menjadi suatu kebiasaan yang berkembang menjadi karakter anti kekerasan.

BENTUK PENYELESAIAN MASALAH YANG ANTI KEKERASAN

Perilaku kekerasan tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika demikian halnya, pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan secara dini melalui program pendidikan agar budaya damai, sikap toleransi, empati, dan sebagainya dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar. Upaya pencegahan kekerasan melalui program pendidikan amat penting, jika kita mengacu hasil Penelitian Komisi Carnigie untuk Pencegahan Konflik yang Mematikan baru-baru ini. Komisi itu menyimpulkan hasil penelitiannya: (1) berbagai bentuk konflik yang mematikan bukan tidak mungkin untuk dapat dihindarkan; (2) kebutuhan untuk mencegah conflik yang mematikan semakin urgen; dan (3) pencegahan konflik yang mematikan adalah sangat mungkin untuk dapat dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah dibiarkannya konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural, edukatif, dan pedagogis. Dunia ini dalam keadaan bahaya bukan karena adanya kelompok orang tertentu melakukan berbagai kekerasan, tetapi justru disebabkan oleh orang-orang yang tahu adanya berbagai kekerasan tetapi tidak melakukan pencegahan apapun.

Dunia pendidikan sangat memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Secara teoritik ada banyak cara untuk memecahkan konflik seperti: menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan ke-kuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dsb. Cara-cara tersebut sering tidak efektif, dan selalu ada yang menjadi korban. Saat ini ada gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih populer disebut dengan conflict resolution (Resolusi Konflik). Bentuk-bentuk Resolusi Konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan integratif agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan. Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis. Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis dan dalam jangka panjang masyarakat yang demikian itu akan terisolir dari percaturan global.

Berbagai bentuk resolusi konflik yang dapat diintegrasikan dalam program pendidikan antara lain: (1) negosiasi; (2) mediasi; (3) arbitrasi; (4) mediasi-arbitrasi; (5) konferensi komunitas; dan (6) mediasi teman sebaya. Negosiasi merupakan salah satu bentuk resolusi konflik yang dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara dua atau lebih orang yang terlibat dalam konflik kekerasan dengan tujuan utama untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan.

Mediasi adalah sebuah proses yang bersifat sukarela dan rahasia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral untuk membantu orang-orang mendiskusikan dan menegosiasikan persoalan-persoalan yang amat pelik dan sulit agar tercapai kesepakatan sehingga konflik yang membawa berbagai bentuk kekerasan dapat dihindarkan. Langkah-langkah penting dalam mediasi sebagai salah satu bentuk dari resolusi konflik ialah: pengumpulan informasi, perumusan masalah secara jelas dan jernih, pengembangan berbagai opsi, negosiasi, dan formulasi kesepakatan. Bentuk Resolusi Konflik ketiga, arbitrasi, merupakan proses yang mana pihak ketiga yang netral mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan konflik setelah ia mengkaji berbagai bukti dan mendengarkan berbagai argumen dari kedua belah pihak yang sedang terlibat dalam konflik.

Selanjutnya, mediasi-arbitrasi merupakan sebuah hibrid yang mengkombinasikan antara bentuk mediasi dan arbitrasi. Artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam
konflik mencoba untuk melakukan pemecahan melalui mediasi, tetapi jika tdak ditemukan pemecahannya kemudian mereka menempuh cara arbitrasi. Bentuk Resolusi Konflik yang kelima, konferensi komunitas, merupakan dialog yang terstruktur dengan melibatkan semua unsur dan atau anggota masyarakat (pelaku kekerasan, korban, keluarga, para sahabat, dsb.) yang mengalami dan menderita akibat dari dari adanya kekerasan kriminal. Semua unsur masyarakat saling memberi kesempatan untuk menyatakan posisinya, persaannya, persepsinya, terhadap kekerasan yang sudah terjadi, dan bagaimana usul mereka untuk menyelesaikan persoalan yang ada itu.

Akhirnya, mediasi teman sebaya merupakan salah satu bentuk resolusi konflik di mana dalam proses itu anak-anak muda bertindak sebagai mediator untuk membantu menyelesaikan pertikaian di antara teman-teman sejawat mereka. Dalam konteks ini para siswa dapat dilatih dan diawasi oleh guru atau orang dewasa lain dalam melaksanakan perannya sebagai mediator. Dengan cara ini para siswa dapat mem-pelajari budaya damai dan budaya anti kekerasan dengan cara melibatkan diri dalam persoalan riil yang dihadapi oleh para rekan sejawat mereka.

Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya mendidikkan berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para siswa kita. Untuk ini kita dapat menggunakan pendekatan simulasi, bermain peran, observasi, penangaanan kasus, dsb. agar para siswa memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan. Dengan demikian, untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik sebagaimana dijelaskan di atas perlu diperkenalkan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara terintegrasi, bukan secara monolitik.

Hal ini berarti kita tidak perlu kurikulum secara khusus. Cukup guru memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang studi yang relevan dengan sifat dan hakikat resolusi konflik yang dikonseptualisasikan. Dengan cara ini maka dalam jangka panjang para siswa kita memiliki nilai dan perilaku anti kekerasan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan, sungguh kita sebagai bangsa akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada di Republik ini.


KESIMPULAN

Pada akhirnya, suatu karakter positif yang dimiliki seseorang, khususnya karakter anti kekerasan sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang yang berhasil dalam dunia kerja dan kehidupan masyarakat. Khususnya untuk dunia kerja, salah satu faktor penentu keberhasilan dunia kerja adalah SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkarakter, karakter yang dibutuhkan salah satunya adalah karakter anti kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah.

Budaya senyum, sapa dan salam sebagai ciri khas bangsa Indonesia merupakan salah satu kearifan lokal yang penting untuk diterapkan sedini mungkin dan dapat dijadikan kunci pembuka dalam komunikasi, yang nantinya akan membentuk berbagai perilaku yang mengarah pada nilai-nilai anti kekerasan.

Sesuai budaya Jawa yang mengajarkan keno iwake ojo buthek banyune yang memiliki makna penyelesaian masalah tanpa menimbulkan masalah baru, memilih jalan damai bagi semua pihak. Masalah terselesaikan, namun hubungan baik tetap terjaga. Kiranya nilai tersebut penting untuk kita anut dalam kehidupan kita.


DAFTAR RUJUKAN

Byrne, Rhonda. 2007. The Secret. Jakarta: PT Gramedia
Gunawan, Adi W. 2005. Hypnosis – The Art of Subconscious Communication. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Irawan,dkk. 2003. Psikologi Umum....
Jamil Salmi. 2005. Violence and Democratic Society: Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi. Yogyakarta: Pilar Media.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Mulyana, Dedy. 2000. Ilmu Komunikasi, Pengantar. Bandung : Remaja. Rosadakarya
N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan. 2000. Encyclopaedia of the Holy Qur’ân. New Delhi: balaji Offset.
Setiawan, Catur. 2010. “ Seulas Senyum Guru Sejuta Kebahagiaan Murid”. Online. Diakses tanggal 23 Agustus 2011. http://o-friends.web.id/artikel/57-artikel/206
Thomas Santoso. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia
Share:

Ordered List

Sample Text

Definition List

Total Tayangan Halaman